Slide 1

Pusat Informasi Sejarah, Budaya dan Adat Alam Kerinci (Jambi)

Slide 2

Pusat Informasi Sejarah, Budaya dan Adat Alam Kerinci (Jambi)

Slide 3

Pusat Informasi Sejarah, Budaya dan Adat Alam Kerinci (Jambi)

Slide 4

Pusat Informasi Sejarah, Budaya dan Adat Alam Kerinci (Jambi)

Slide 5

Pusat Informasi Sejarah, Budaya dan Adat Alam Kerinci (Jambi)

Rabu, 24 Juni 2015

SERINTIK TENTANG SEJARAH KUMUN (KERINCI)



Ditulis Oleh : Deki Syaputra. ZE, S. Hum
SERINTIK TENTANG SEJARAH KUMUN (KERINCI)
A. Asal Usul Nama Kumun
Saat ini belum banyak yang menerangkan mengenai asal usul nama Kumun, berikut ini akan di jelaskan sekelumit tentang asal usul lekatnya nama suatu daerah dengan sebutan Kumun. Kata “Kumun” berasal dari kata kmu. Kmu berasal dari kata tmu atau temu yang di ambil dari kosakata pertemuan.
Hal di atas, di dasarkan pada sebuah catatan yang menerangkan bahwa di wilayah ini terdapat sebuah tempat berapat atau pertemuan raja-raja, baik raja dari wilayah tetangga atau negeri jiran Alam Kerinci, maupun para pemuka masyarakat dan tetua adat di Alam Kerinci. Salah satunya adalah pertemuan Raja Sultan Geger Alam Syah dari Indrapura (Minangkabau), Pangeran Temenggung Kabul Dibukit dari Mesumai, Bangko (Jambi) dan para depati di Alam Kerinci (Depati IV-VIII Helai Kain), melakukan rapat perjanjian untuk mewujudkan dan meningkatkan keamanan, kesejahteraan, dan musyawarah menentukan batas wilayah dari ketiga daerah tersebut. Rapat ini juga dihadiri dan disaksikan oleh Rajo Bakilat dari Siulak dan Nymapai Siung (Nymape Siao) dari Kumun.[1] Tempat berapat tersebut, di sebuah bukit yang dinamai dengan Bukit Setinjau Laut atau Bukit Paninjau Laut yang terletak di wilayah Koto Temu atau di wilayah Depati Sempurno Tiang Bumi Putih.[2]
Jadi, dari kata pertemuan itulah muncul kata temu yang dikemudian hari, berubah menjadi Kemu dan dibahasa Indonesiakan menjadi Kumun. Sebutan Kumun, juga terdapat dalam naskah kuno di wilayah lain di Alam Kerinci yang menyebutkan nama wilayah ini dengan sebutan Kemun.[3] Selain itu, penulis juga bependapat bahwa Kumun juga berawal dari kata “temu” dan juga berasal dari kata pertemuan. Ini didasarkan pada wilayah Kumun yang ditinggali masyarakat setempat saat sekarang dijadikan tempat bertemunya empat pemuka masyarakat dari empat koto[4], ketika bermusyawarah dan untuk persiapan menghadap Pangeran Temengung Kabul Dibukit di Muaro Mesumai Bangko.
Sementara itu, jika di analisa isi dari naskah kuno yang ada diwilyah tersebut, menyebutkan asal usul nama Kumun ini, walaupun tidak menjelaskannya secara lansung dan jelas. Naskah tersebut menyebutkan “batang airnyo kemuan sungai panjang”.[5] Fakta menunjukkan bahwa Kumun sekarang memang memiliki sungai yang panjang dan sungai tersebut saling berhubungan dan memiliki satu muara, yaitu sungai Muara Air. Jadi dapat kita tarik kesimpulan bahwa asal kata Kumun berasal dari nama Sungai Kemuan yang akhirnya menjadi nama wilayah tersebut yang disebut dengan Kumun sekarang ini.
Sementara itu, Tahar Ramli[6] menyebutkan wilayah Kumun, tepatnya di sekitar perbukitan Batu Sandaran Galeh dulunya merupakan salah satu jalan para pedagang dari Alam Kerinci untuk berdagang ke Negeri Lunang di Indrapura. Hal ini seiring dengan pendapat atau cerita tetua-tetua Kumun yang menyatakan bahwa, pada masa dahulu di atas perbukitan dekat Desa Sandaran Galeh sekarang terdapat batu tempat para pedagang menyandarkan galehnya (barang bawaan), inilah asal usul penamaan dari Desa Sandaran Galeh tersebut.
Pendapat di atas, berhubungan dengan asal usul penamaan Kumun yang berasal dati kata temu, bertemu atau pertemuan. Sebagaimana disebut tadi bahwa, wilayah ini merupakan jalan para pedagang dari Alam Kerinci tepatnya tempat bertemunya para pedagang dari seluruh wilayah Alam Kerinci baik ketika pergi maupun pulang berdagang dari negeri Lunang dengan melalui Batu Pintu (Batu Pintau), dalam salah satu naskah di Alam Kerinci disebut dengan Batu Bapintu.
Itulah sekelumit tentang asal usul nama Kumun, didasarkan pada tradisi lisan atau cerita turun temurun yang berkembang dalam masyarakat di wilayah ini. Hal ini, juga disertai dengan analisa penulis dan didukung dengan data-data yang dapat menguatkan pendapat tersebut. Kesimpulan ini bukanlah kesimpulan yang mutlak, melainakan kesimpulan awal yang penulis dapatkan dan kesimpulan ini dapat dibantah jika ada pendapat lain yang benar dan kuat buktinya.
B. Asal Usul Terbentuknya Kedepatian Depati Empat Kumun
Pada awalnya wilayah Kumun tidak memiliki pemerintahan berupa kedepatian, sedang di wilayah lain sudah terdapt pemerintahan depati, yang dikenal dengan Depati Tujuh Helai Kain, Depati Empat Helai Kain Dan Depati Delapan Helai Kain. Hal ini dikarenakan, wilayah Kumun belum mendapat gelar adat serta ajun arah tanah kekuasaan adat dari pihak Kesultanan Jambi atau pihak pangeran temenggung yang berkedudukan di Muaro Mesumai (Bangko). Hal tersebut dikarenakan Kumun adalah salah satu wilayah yang tidak ditempuh atau dilalui raja (Pangeran Temenggung Kabul Dibukit), serta wilayah tersebut sangat kecil kala itu dan penghuninyapun masih sedikit.
Selain itu, wilayah ini juga berdekatan dengan wilayah Sungai Penuh, seakan-akan wilayah ini satu dalam kesatuan. Dimana pada masa ini, wilayah Sungai Penuh memegang jabatan sebagai Pegawai Rajo, Cermin yang tiada kabur, memegang kitab Allah,[7] istilah ini sering juga disebut, Pegawai Rajo Pegawai Jenang Suluh Bendang Dalam Negeri Kiyai/Depati Nan Bertujuh Di Alam Kerinci (Suluh Bendang Depati Empat Delapan Helai Kain). Ada sebuah ungkapan yang lazim disebut oleh para tetua adat Sungai Penuh, yaitu wilayah Kumun dan Sungai Penuh sepeluk dan sepangku. 
Orang Kumun kala itu, suka mengikuti orang banyak karena jumlah mereka sedikit serta daerahnya masih kecil dibandingkan wilayah lain, dimana pada masa ini wilayah Kumun hanya terdiri dari 4 (empat) koto saja. Sehingga Kumun, ikut saja kemana arah angin membawanya asalkan mereka tidak rugi dan tidak ditindas serta tidak membahayakan masyarakat dan wilayah Kumun tersebut. Di dalam deto telitai,[8] yang bersumber dari manuskrip yang ditemukan di Kerinci, menyebutkan bahwa wilayah kumun adalah pengikut, seperti berikut ini;
“ ………Di lembak napal yang berjenjang dua, di darat surian yang berjenjang tiga, maka di mudik ke Ujung Pasir Peninjau danau, Semerah tidak berbasa, Tanjung pondok alang semuang, orang Kumun suka menurut, cupak dikilan Manti Rang empat, Sungai Penuh Pagawe Raja Pagawe Jenang Suluh Bendang Depati Empat Helai Kain,……”.[9]     
Kalimat “orang Kumun suka menurut” di atas, jangan sampai salah di artikan, karena kata “menurut” disana tidak merujuk kepada pengikut atau jajahan. Melainkan kata tersebut, memiliki makna tidak membangkang atau menerima keputusan orang lain, selagi keputusan tersebut benar dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Walaupun demikian bukan bearti wilayah lain bisa semena-mena dengan wilayah Kumun dan masyarakatnya. Jika hal itu terjadi, wilayah ini sangat menentang bahkan sanggup bertempur atau berperang.
Wilayah Kumun baru mendapat wilayah Adat pada tahun 1106 H atau 1694 H, yaitu wilayah dan kepemimpinan adat sendiri, dengan mendapo hutan, mendapo tanah, depatai dinga burampak (berempat). Hal ini berlaku, setelah dikeluarkannya surat piagam dan slak oleh Temenggung Kabul Dibukit dari Muaro Mesumai Bangko. Maka dari itu, tersebutlah sebuah kepemimpinan adat Depati IV di wilayah empat koto di Kumun (Kmu). Penyerahan tersebut juga disaksikan oleh Depati Setio Rajo[10] yang merupakan depati yang terhimpun kedalam Depati Tujuh Helai Kain atau Depati Tiga Helai Kain di Kerinci Rendah. Setelah penjeputan gelar sko ke Muaro Mesumai, maka wilayah ini di anjurkan untuk membentuk dusun oleh Pangeran Temenggung Kabul di bukit.
Penjeputan gelar adat tersebut di atas, di prakarsai atau dilakukan oleh perkawakilan dari empat koto diwilayah Kumun. Dimana setiap koto diwakili oleh dua orang perwakilan, yaitu:
1.         Abaeh Nyalo dari Koto Pinang yang didampingi oleh Nyampe Siao.
2.         Tekhuk dari Koto Kemu yang didampingi oleh Pati Balo Hitam Kinantan Lidah
3.         Panglimo Jati Ladang dari Koto Luar didampingi oleh Kecaik Nyatao
4.         Kilat Tungga dari Koto Tuo didampingi oleh Paningko Kecaik.
Hasil dari pertemuan dengan Pangeran Temenggung tersebut, di putuskan Tenkhuk dari Koto Kemu di kukuhkan gelar  Depati Sampurno Tiang Bumi Putih,  Abeah Nyalo dari Koto Pinang dikukuhkan gelar  Depati Galang Negeri, Kilat Tungga dari Koto Tuo dikukuhkan gelar Depati Puro negoro dan Panglimo Jati dari Koto Luar dikukuhkan Depati nyoto Negoro.[11]
Pejeputan gelar dan keputusan wilayah kekuasaan tersebut, oleh perwakilan dari empat koto ke pihak Kerajaan Jambi, karena terjadi perjalanan singkat Pangeran Temenggung Kabul Dibukit ke Kerinci untuk melihat sosial budaya dan agama masyarakat Kerinci yang terletak antara Kerajaan Indrapura (Minangkabau) dan Kerajaan Jambi. Setiap negeri yang dikunjungi dan dilaluinya, menyerahkan tanda mata selembar atau segabung kain sutera, sekaligus mengukuhkn dan meresmikan gelar kedepatian kepada tuan rumah seperti:
1.         Temiai gelar Depati Muara Langkap
2.         Pulau Sangkar Depati Rencong Telang
3.         Pengasi Depati Biang Sari
4.         Hiang Tinggi Depati Atur Bumi
Depati Atur Bumi menyampaikan kepada Pangeran Temenggung, bahwa ada 8 (delapan) daerah lagi yang perlu perhatian, maka kain yang satu lembar di bagi /di potong menjadi delapan potongan, inilah yang disebut dengan tiga di hilir satu Tanah Rawang dan tiga dimudik satu Tanah Rawang, jadi semuanya delapan yaitu:
1.         Depati serah bumi di seleman
2.         Depati atur bumi di hiang
3.         Depati mudo di penawar
4.         Depati mudo di hamparan rawang
5.         Depati Kepalo Sembah di Semurup
6.         Depati situwao di Kemantan
7.         Depati Tujuh di Sekungkung
8.         Depati niat di Hamparan Rawang.[12]
Sementara itu, sebelum Pangeran Temenggung mengunjungi wilayah tersebut di atas, beliau terlebih dahulu mengunjungi tiga wilayah di Kerinci rendah, yaitu wilayah Lubuk Barung digelari Depati Setio Raja, wilayah Nalo digelari Depati Setio Beti dan Wilayah Tanah Renah digelari Depati Setio Nyato. Inilah yang dengan Depati Tiga Helai Kain di Kerinci Rendah atau bagian dari Depati Tujuh Helai Kain di Alam Kerinci, dari ketiga depati diatas salah satunya pernah sebagai saksi penyerahan piagam dan slak oleh Pangeran Temenggung kepada orang empat koto (Kumun), yaitu Depati Setio Rajo, seperti yang telah disebut di atas tadi.
Menurut para tetua adat wilayah Depati IV Kumun Debai, dengan adanya perjalanan atau kunjungan Pangeran Temenggung ke wilayah Alam Kerinci dan memberi kain kebesaran dan pengukuhan gelar adat, untuk setiap wilayah yang disinggahinya. Namun kunjungan tersebut berdampak terhadap wilayah empat Koto Kumun, mereka merasa pemerintahannya terusik sehingga  untuk dapat tegak sama tinggi duduk sama rendah dengan pemerintahan yang sudah dikunjungi Pangeran Temenggung, mereka bermusyawarah dan pergi menjebut gelar Kemuaro Mesumai.[13] Itulah sebabanya, kenapa para tokoh atau tetua empat kota menjeput dan mendapat gelar adat serta tanah wilayah yang sesuai dengan terlampir di dalam slak dan piagam, yaitu pada tahun Hijrah Nabi Salallah Alaihi Wassalam pada Tahun Seribu Seratus Enam Tahun Alif, pada selikur hari Bulan Sya’ban pada Hari Ahad.
Penulis bertolak belakang dengan pendapat di atas, karena hal yang mustahil jika para tetua empat koto Kumun merasa eksistensinya terganggu, dan menjeput gelar adat tersebut setelah puluhan tahun lamanya wilayah lain mendapat pengukuhan, bahkan sudah mencapai seratus tahun lebih kepemimpinan kedepatian di beberapa wilayah di Alam Kerinci. Asumsi tersebut, penulis dasarkan kepada tahun yang tertera pada slak dan piagaam wilayah Depati IV Kumun, yaitu tahun 1106 atau 1694. Jadi dapat di perkirakan sekitar tahun tersebut tokoh masyarakat empat koto menjeput gelar adat atau pengakuan ke Muaro Mesumai. Sedangkan Pangeran Temenggung, melakukan kunjungan ke wilayah Alam Kerinci serta mengukuhkan gelar adat untuk wilayah yang disinggahinya sekitar tahun 1526 M semisal dengan 933 H.
Selain itu, ada juga yang berpendapat yang menjadi penyebab tokoh masyarat wilayah empat koto, menjeput menghadap Pangeran Temenggung untuk mendapat gelar dan pengakuan, karena pada masa dahulu terjadilah peperangan antara wilayah Kumun dengan Sungai penuh, peperangan ini terjadi karena wilayah Kumun menolok menjadi pegawai rajo dan pegawai jenang Sungai Penuh atas permintaan Sungai Penuh, Kumun tidak mau tunduk ke wilayah Sungai Penuh karena Kumun ingin berdiri sendiri. Setelah peperangan tersebut selesai konon katanya dimenangkan oleh orang Kumun, sehingga tetua atau tokoh masyarakat Kumun kala itu, beinisiatif untuk menjeput gelar adat ke hadapan Pangeran Temenggung Kabul Dibukit yang berkedudukan di Muaro Mesumai. Hal ini dilakukan, agar wilayah Kumun duduk samo rendah tegak samo tinggi dengan wilayah kedepatian lain. Permintaan tokoh masyarakat tersebut dipenuhi oleh Pangeran Temenggung sehingga wilayah Kumun berdiri sendiri dan mendapat gelar kedepatian, yaitu depati IV Kumun.[14]
Menurut penulis, pendapat di atas terdapat kejanggalan. Asumsi ini didasarkan atas jabatan yang dipegang Sungai Penuh pada masa itu, yaitu sebagai pegawai raja dan pegawai jenang[15], tidaklah mungkin pegawai akan memiliki pegawai lagi, dalam artian tidak mungkin Kumun menjadi pegawai Sungai Penuh, karena sungai penuh bukanlah pusat pemerintahan kedepatian di Alam Kerinci (Depati IV-VIII Helai Kain) kala itu, malainkan Sungai Penuh hanya sebagai pegawai, yaitu suluh bendang dalam negeri atau kiyai nan bertujuh di Alam Kerinci.
Sementara itu ada juga yang berpendapat, pada masa dahulu wilayah IV Koto diserang dari segala penjuru oleh para suluh bendang dalam negri dan para pemuka masyarakat (depati) yang telah mengeraskan hukum syarak. Peristiwa ini terjadi di Koto Tuo (Kumun), hal ini terjadi karena di wilayah ini masih merejalela perjudian, minum tuak dan menyabung ayam serta Asyek. Oleh sebab itulah wilayah ini diserang serta dihanguskan oleh suluh bendang dalam negeri dan para depati di wilayah lain. Maka dengan adanya penyerangan tersebut, tokoh (tetua)  masyarakat merasa kepemimpinanya terganggu. Setelah mereka menerima kekalahan dan mau menjalankan perintah, dari suluh bendang dalam negeri, maka mereka mengambil keputusan untuk menjeput gelar ke Muaro Mesumai. Pihak perwakilan Sulthan Jambi mengabulkan permintaan mereka dan piagam gelar adat diserahkan kepada tokoh masyarakat tersebut, beserta piagam tanah kekuasaan depati yang berempat tersebut.
Penulis sependapat dengan pendapat yang ketiga di atas, karena menurut orang tua-tua di wilayah setempat pada masa dahulu, memang salah satu pusat Asyek di wilayah Kumun. Penulis semakin yakin dengan hal tersebut, setelah pengakuan dari salah seorang depati di wilayah Kumun yang menyatakan kebenaran hal tersebut. Kebenaran tersebut, tampaknya sengaja di sembunyikan karena dapat merusak harkat dan martabat, serta akan mengakibatkan wilayah lain berpandangan buruk terhadap wilayah Kumun itu sendiri.
Jadi dari pernyataan di atas, wilayah ini baru menerima gelar dan wilayah adat setelah dilakukannya pembasmian hal-hal yang tidak sesuai dengan hukum syarak oleh suluh bendang dalam negeri, dalam artian wilayah ini agak terlambat dalam berkembangnya Islam. Oleh sebab itulah Pangeran Temenggung mengabulkan permintaan tokoh masyarakat tersebut, agar tokoh masyarakat tersebut dapat menguatkan Islam di wilayahnya. Mustahil jika seorang sultan atau pangeran Kesultanan Islam akan memberi gelar serta wilayah kekuasaan kepada suatu wilayah, apabila wilayah tersebut tidak mau menerima dan mengikuti ajaran dari kesultanan itu sendiri, seperti halnya ajaran Islam sebagai agama resmi Kesultanan/Kerajaan Jambi kala itu.




                [1] Iskandar Zakaria, Tambo Sakti Alam Kerinci, Dinas P dan K, 1984 hal. 26
                [2] Salah satu nama gelar Depati dari empat Depati di wilayah Depati IV Kumun Debai yang di anugrahi Pangeran Temenggung Kabuk Dibukit.
                [3] Dalam Naskah kuno di Mendapo Kemantan, lihat dalam Voerhoeve, Tambo Kerinci, 1942.
                [4] Sebutan untuk wilyah yang sekarang di sebut dengan Kumun, karena pada masa dahulu wilyah ini terdiri dari empat perkampungan yang disebut dengan Emapat Koto.
                [5] Dalam naskah Slak Depati IV Kumun Debai.
                [6] Seorang sejarawan dan dosen pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Universitas Negeri Padang (UNP). Beliau berasal dari Pulau tengah (Kerinci).   
                [7] Dalam lembaran naskah di Mendapo Limo Dusun Sungai Penuh.
                [8] Deto Talitai ialah pidato adat yang disampaikan dalam upacara Kenduri Sko (upacara adat) ketika pemberian, pengukuhan gelar kebesaran adat Alam Kerinci, seperti Depati dan Ninik Mamak.
                [9] Dinas P dan K, Adat dan Budaya Daerah Kerinci, [t.p], 2003, hal. 97.
                [10] Depati Setio Rajo adalah seorang depati yang berkedudukan di Lubuk Barung (Bangko) yang merupakan bagian dari Depati Helai Kain di Kerinci Rendah dulunya.
                [11] Dalam makalah diskusi adat Kumun, 2012.
                [12] Iskandar Zakaria, Op cit., hal. 22.
                [13] Tulisan tentang Selamat Datang Di Wilayah Deapati Empat Kumun Debai Batu Gong Tanah Kurnia, Narasumber H. Amiruddin, Dpt. Dan wawancara Penulis dengan Samsu AD, Dpt, 2013. 
[14] Samsu AD, gelar Depati Galang Cahayo Negri, wawancara pribadi, Kumun 13 Mei 2013, jam 9.30 WIB pagi. Hal ini, juga pernah disampaikan oleh H. Taharuddin gelar Depati Sempurno Cahayo Bumi Putih (mantan ketua Lembaga Kekerapatan Adat depati IV Kumun Debai 2006-2012) di kediaman beliau pada tahun 20011. 
                [15] Iskandar Zakaria, Tambo Sakti Alam Kerinci, Dinas P dan K Kerinci, 1984, hal. 45.

LAPORAN PENELITIAN NASKAH DI KERINCI



LAPORAN PENELITIAN NASKAH DI KERINCI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Di indonesia tersebar begitu banyaknya hasil karya masyarakat pada masa dahulu, baik berbentuk tulisan maupun tidak, salah satunya dari peninggalan tersebut adalah naskah yang merupakan hasil kebudayaan masyarakat pada masa lampau yang berbentuk tulisan. Berkaitan dengan tulisan dalam bentuk naskah, Rubson mengemukakan naskah adalah kesusteraan tertulis dalam bentuk buku tulisan tangan yang dipergunakan untuk mencatat hal-hal yang di anggap penting (Serat Ismail, 2008 : 3 (Skripsi)).
Menurut Baried naskah adalah semua bahan tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya pada masa lampau. Teks yang ditulis dalam bentuk naskah sangat beragam isinya antara lain religi, sejarah, ilmu pengetahuan, kemanusiaan, kesenian, undang-undang, foklor, adat istiadat dan sastra (Serat Ismail, 2008 : 1 (Skripsi)).
Berbicara tentang naskah maka kita akan membicarakan tentang ilmu yang mengkaji naskah tersebut seperti filologi dan studi naskah. Kedua disiplin ilmu ini mengkaji serta memahami seluruh yang menyangkut dengan seluk beluk pernaskahan, serta dibantu dengan disiplin ilmu lain sebagai ilmu bantu filologi dan studi naskah.
Tradisi tulis menulis di nusantara, dengan serangkaian perjalanan panjangnya telah menghasilkan sedemikian banyak dokumen tertulis berupa naskah-naskah kuno yang keberadaannya saat ini tersimpan diberbagai tempat koleksi baik koleksi lembaga maupun perorangan. Naskah-naskah kuno tersebut patut dijaga keberadaannya dan dilakukan penelitian secara serius agar informasi penting yang terkandung didalanya dapat diketahui semua orang, baik generasi saat ini maupun generasi yang akan datang.
Didalam tulisan ini yang menjadi objek kajian penelitian kami adalah Naskah Melayu Kuno Kerinci (Jambi). Secara umum kita ketahui bahwa naskah kuno menggunakan aksara yang berkembang atau aksara yang dimiliki oleh wilayah tempat asal naskah itu sendiri, serta menggunakan alas atau media tulis naskah yang ada di wilayah tersebut baik hasil alam wilayah tersebut maupun didapatkan dari wilayah lain begitu juga dengan naskah ini.
Mengingat dan menimbang begitu pentingnya naskah bagi kita serta bagi lembaga-lembaga tertentu yang mengkaji naskah sehinngga kami melakukan penelitian tentang naskah ini. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa yang menjadi objek kajian penelitian ini adalah Naskah Melayu Kuno Kerinci (Jambi).
B. Tempat dan waktu pelaksanaan
Tempat pelaksanaan penelitian naskah ini secara khusus di wilayah Mendapo Kerapatan Adat Koto Beringin Rawan Kota Sungai Penuh/Kerinci (Jambi) secara umum di seluruh mendapo yang ada di Kerinci baik mendapo delapan/6 helai kain maupun mendapo depati otonom di wlayah alam Kerinci. Sedangkan waktu pelaksanaan penelitian tersebut hari sabtu 9 Juni 2012.
C. Kegunaan dan tujuan penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui bagaimana tradisi pernaskahan di wilayah Kerinci;
2.      Untuk menegetahui keadaan nari naskah-naskah yang berada di wilayah Kerinci;
3.      Sebagai tambahan referensi bagi pembaca tentang naskah kuno di Kerinci.
            Sedangakan tujuan dari penelitian ini adalah:
1.      Untuk mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah dipelajari dalam mata kulyah Studi Naskah yang menyangkut dengan penelitian lapangan tentang naskah;
2.      Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Bapak/ Ibu dosen pembimbing mata Studi Naskah. 

















BAB II
PEMBAHASAN
A. Gambaran umum wilayah penelitian
Dalam poin ini penulis akan menjelaskan sekelumit gambaran umum tentang wilayah penelitian yaitu kerinci (jambi) maka poin ini khusus membahas gambaran wilayah tersebut.
Kerinci
Kerinci terletak anatara 1◦ 41 s/d 2◦ 56 LS dan 101◦ 08 s/d 101◦ s/d 101◦ 50 BT. Berada pada ketinggian 725 M diatas permukaan laut dengan posisi membujur dari barat laut ke tenggara, sejajar dengan arah pulau Sumatera (BPS Kab. Kerinci, 2008/2009 : 03). Kerinci merupakan salah satu wilayah yang berada di provinsi Jambi yang terletak di bagian barat provinsi Jambi. Kerinci adalah salah satu suku dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia yang disebut dengan Suku Kerinci, danaunya disebut Danau Kerinci, gunungnya disebut Gunung Kerinci, adat istiadatnya disebut Adat Kerinci dan orangnya disebut Orang Kerinci (Uhang Kincai dalam bahsa Kerinci dan Urang Kurinci dalam bahasa Minangkabau).
Wilayah Kerinci jarang dan kurang diketahui oleh orang atau masyarakat Indonesia tapi begitu dikenal oleh orang luar negeri, seperti Belanda dan Malaysia. Hal ini dikarenakan begitu sedikit wisatawan lokal yang meminati Kerinci, beda halnya dengan wisatawan mancanegara sangat meminati dan mengagumi serta sangat antusias sekali untuk mengunjungi Kerinci. Bahkan timbol slogan bagi wisatawan mancanegara, yaitu “jagan mati dulu sebelum mendatangi Kerinci”, segitu menariknya Alam Kerinci bagi mereka, maka muncullah slogan tersebut.
Dalam konstelasi sejarah kebudayaan Indonesia daerah Kerinci adalah suatu daerah yang sangat tua (Basri, 1982 : 33). Daerah ini memiliki aset perbendaharaan benda cagar budaya dalam kondisi bisa dikatakan langka karena keunikannya belum dijumpai didaerah lain di Indonesia. Penelitian mengenai Kerinci sudah dimulai pada tahun 1811 oleh W. Marsden, L.C. Westernent (1922), Th. Van der hoop (1938), Dr. P. Voorhoeve (1941), Prof. Dr. Poerbatjaraka (1941), Mr. Mohammad Yamin (1952), Prof. Dr. Jaspen (1963), Dr. Benner Bronson (1973), Prof. Dr. Isamu Kurata (1975) (Dinasa P dan K, 2003 :13). Kemudian disusul oleh Uli Kozok pada tahun 2002 dan lain-lain.
Dari data diatas kita dapat mengetahui keunikan Alam Kerinci sehingga diteliti oleh para peneliti dalan negeri maupun luar negeri. Namun kebanyakan dari para peneliti tersebut adalah para peneliti dari luar negeri yang melakukan penelitian tentang sejarah budaya Alam Kerinci. Salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh para ilmuan di Alam Kerinci, menyimpulkan bahwa kehidupan dan peradaban di Kerinci sudah ada sejak 10.000 tahun yang silam (Idris Djakfar, 2001 : 24). Kerinci juga pernah mengemparkan dunia Melayu khususnya dan seluruh dunia pada umumnya, dikarenakan Naskah Melayu tertua di dunia di temukan di pedalaman Kerinci tepatnya di Dusun Tanjung Tanah sehingga naskah ini disebut dengan Naskah Tanjung Tanah.
Sesuai dengan hasil temuan tersebut menunjukkan bahwa aksara yang digunakan dalam naskah itu bukanlah aksara Arab melayu melainkan aksara Incung (aksara Kerinci) yang digolongkan kedalam aksara pasca Pallawa yang merupakan aksara melayu. Hal yang paling mengejutkan lagi, dengan ditemukannya naskah tersebut bearti patah lah teori yang mengatakan bahwa tidak ada tradisi pernaskahan didunia Melayu sebelum Islam masuk. Namun naskahTanjung Tanah ini telah menunjukkan bahwa ada tradisi pernaskahan di dunia Melayu sebelum masukknya Islam hal ini didasarkan pada naskah tersebut yang merupakan naskah yang berasal dari pra Islam. Adapaun bukti naskah ini merupakan naskah pra Islam sesuai dengan yang diutarakan oleh UliKozok dalam tulisannya sebagai berikut:
·         Tidak ditemukan kata serapan dari bahasa Arab
·         Maharaja Dhamasraya disebut dalam naskah tersebut sementara Dhamasraya hanya disebut sebelum Islam
·         Naskah menggunakan tahun Saka bukan tahun Hijriah (Kozok, 2006 : XII).
Inilah bukti bahwa kerinci merupakan salah satu daerah yang sangat tua, hal ini juga dikarenakan Kerinci telah dikenal didunia luar sejak dulu kala, seperti Cina, hal ini terbukti dengan banyaknya keramik-keramik Cina yang ditemukan di Kerinci khususnya pada masa dinasti Han di Cina (202 SM hingga 221 M). Bahkan sebuah peradaban kuno, yaitu Mahajendero dan Harappa pernah mengenal baik Alam Kerinci sebagai salah satu penghasil kemeyan terbesar di dunia.     
B. Deskripsi naskah secara umum
Naskah ini merupakan salah satu naskah yang ada di wilayah alam kerinci tepatnya di mendapo rawan koto beringin sungai penuh-kerinci (jambi) yang sangat dijaga oleh masyarakat yang berada dalam ruang lingkup wilayah medapo tersebut. Berikut ini akan dijelaskan hal-hal yang penting dalam penelitian naskah sekaligus hasil dari penelitian penulis.
1.      Bahan naskah
Bahan naskah atau alas naskah merupakan suatu media yang digunakan sebagai alas atau wadah untuk menulis. Biasanya alas naskah tersebut berukuran lebar seperti halnya kertas. Berupa ide-ide ditulis pada media tersebut maka tulisan tersebut akan disebut salah satu naskah.
Bahan naskah adalah sesuatu yang dipakai untuk dituliskan suatu tanda atau lambang, umumnya bagian permukaan dari suatu bahan tertentu. Bahan naskah juga disebut sebgai sesuatu yang dipakai untuk menulis sehingga terbentuk suatu naskah (Mulyadi,1994:44).
Bahan naskah yang pernah dipergunakan di berbagai belahan dunia, di antaranya adalah bambu di Cina, daun tumbuhan palma di India dan Asia Tenggara, lempengan tanah liat (claybricks) di Mesopotamia, papyrus di Mesir. Di samping itu terdapat pula bahan naskah berupa logam, catton, linen, velum (vellum), sutera, perkamen (parchment), kertas, batu, kulit kura-kura, tulang, gading, kayu, kulit kayu, dan baju (Gaur, 1975:4--34).
Di Kerinci kita juga akan menemukan hal yang sama dalam hal ini alas naskah atau bahan naskah, dimana dikerinci tersebar naskah-naskah yang berbahan kulit kayu, kertas, dan perkamen. Uniknya lagi di Kerinci kita akan menemukan naskah yang beralas atau berbahan tanduk kerbau yang pada umumnya diwilayah lain tanduk ini biasanya dijadikan hiasan atau pajangan dan terompet. Namun, beda halnya dengan di wilayah alam Kerinci tanduk malah dijadikan alas naskah seperti naskah yang diteliti langsung oleh penulis.
Tidak hanya itu kitapun akan menemukan keunikan lain tentang alas atau bahan nasskah dikerinci. Kita ketahui di Cina berkembang penggunaan bambu sebagai alas naskah, namun bambu yang dijadikan sebagai alas naskah di Cina di olah terlebih dahulu menjadi sebuah kertas. Beda halnya dengan dikerinci alas naskah yang terbuat dari bambu tersebut tanpa di olah dalam artian bambu yang masih berupa potongan bambu. Kedua alas nasskah tersebut jarang kita temukan di willayah lain.
2.      Aksara naskah
Aksara merupakan tulisan yang digunakan dalam penulisan teks naskah. Kita ketahui di Indonesia banya terdapat suku bangsa seperti Batak, Suku Rejang, Sunda, Jawa, dan lain-lain. Setiap suku-suku tersebut memiliki aksara atau tulisan tersendiri begitu juga halnya dengan salah satu buku yang berada di wilayah pulau sumatra yaitu suku Kerinci memiliki tulisan atau aksara tersendiri.
Aksara Kerinci tersebut yaitu aksara yang dinamai Incung, berarti Rencong yang merupakan salah satu aksara kuno di negara kita, namun belum banyak dikenal. Aksara ini salah satu aksara yang digunakan atau yang dipakai dalam naskah di Kerinci, selain aksara arab dan arab melayu.
Naskah yang penulis teliti langsung kelapangan adalah naskah yang beraksara incung (rencong) dan berbahasa melayu kuno (bahasa kerinci). Aksara tersebut sudah jarang dipakai oleh masyarakat bahkan tidak ada lagi yang bisa membacanya kecuali, dua orang tokoh kerinci yaitu Iskandar Zakaria dan Alimin Dpt.
3.      Tempat penyimpanan naskah
Naskah-naskah di nusantara banyak tersimpan diberbagai negara seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Belanda, Jerman, dan lain-lain (sutrisno, 1981:12). Sedangkan di dalam negeri naskah-naskah banyak disimpan di museum diperpustakaan, lembaga kebudayaan dan tersebar di masyarakat pemiliknya. Selain itu naskah juga berada di pusat-pusat pembelajaran agama (surau tarekat) serta di surau-surau tua.
Di kerinci sangat jarang kita temukan naskah berada di museum dan lembaga kebudayaan di Kerinci, namun naskah-naskah kuno tersebut tersimpan di rumah mendapo (rumah gedang; besar, rumah adat) yang berada di suatu wilayah kerapatan adat di alam Kerinci. Sama halnya dengan naskah yang diteliti langsung oleh penulis tersimpan di sebuah mendapo. Selain itu, naskah kuno juga terdapat di surau-surau tua serta juga terdapat di rumah-rumah pemilik dan pewaris dari naskah tersebut.
Naskah kuno Kerinci tidak hanya tersimpan di wilayah kerinci, melainkan juga tersimpan di luar negeri yaitu, naskah salinan tambo Kerinci disimpan di perpustakaan Koninklijk Institut voor de Taal-, Land-, en Volkenkunde (KITLV) di Leiden, Belanda, dengan nomor inventaris D Or. 415 (Uli Kozok, 2006 : xi). Naskah kerinci ini juga tersimpan di museum Koninnklijk Bataviaasch Genootschap Van Wetenschappen yaitu di Gedung Arca Betawi.
4.      Skriptorium
Skriptorium adalah ruangan yang luas atau terdiri atas ruang-ruang kecil yang difungsikan untuk menyalin naskah dengan berbagai aturan yang harus dipatuhi. Para petugas yang menyalin naskah tidak diperbolehkan mengubah sesuatu yang ada di dalam teks walaupun ada kesalahan dalam teks yang dihadapinya (Muhammad Ilham dalam http://ulama minang.blogspot.com).
Pada umumnya tempat penyalinan naskah sangat berhubungan dengan isi naskah yang disalin seperti naskah agama Islam ditulis di surau atau di Masjid, naskah adat di rumah adat dan ada juga naskah-naskah tersebut ditulis di rumah warga begitu juga halnya di Kerinci naskah agama biasanya disalin di langgar-langgar pengajian, naskah adat ditulis di rumah mendapo dan ada juga naskah tersebut ditulis di rumah warga-warga di Kerinci.
5.      Isi teks
Isi teks beraneka ragam yang mencerminkan dinamika budaya bangsa pemiliknya. Teks dapat berupa karya sastra penuangan ide atau gagasan, ilmu pengetahuan, singkatnya dapat berupa segala hal yang dapat dituliskan. Begitu juga halnya dengan teks dalam naskah-naskah kerinci dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu agama, hukum/adat, mitologi, pendidikan, sejarah dan sastra. Naskah yang ditemukan dan diteliti oleh penulis adalah naskah yang berisi tentang sejarah tokoh adat di alam kerinci pada masa dahulu. Isi naskah ini merupakan sambungan dari isi teks naskah lain.


C. Deskripsi naskah secara khusus (naskah yang diteliti oleh penulis)
Berikut ini akan diuraikan tentang rincian hasil penelitian naskah yang diteliti oleh penulis.
Profil benda
Nama benda    : Naskah Tanduk
Jenis benda      : Naskah Beraksara Surat Incung Beralas Tanduk
Asal benda      : Kerinci
Bahan              : Tanduk
Warna              : Hitam
Keadaan          : Tidak Utuu
            Ukuran
Panjang           : 45cm
Tebal               : 0,6cm
Diameter         : 1,6-11,8cm
Berat               : 35gram

Adapun isi naskah sebagai berikut(Voerhoeve, 1924/Uli Kozok, 2006):
(1) maka balik ka kuta baru riya di balan maka pula da…….
(2) riya di balan dingan patih madiri dingan ri……………
(3) masak pamintak dipatih madiri cucu huyar di (r)iya dibalan………..
(4) baru maka lama mati dipati sungay laga sangak(?)jadi dipati sa………kacik surang jadi dipati
(5) punjung janak maka barabuk dipati sungay laga dingan dipati muda
(6) dipati punjung balawan dipati muda barabuk sarah jajah na’ik hidak sudah kapada manti
(7) muka barajalan ka tanah hiyan muka tapak hamih sahamih hiyan hidak
(8) sudah lalu ka sagara hagung rapat pula di situ hidak juga sudah maka sampay halah
(9) ka pengiran muka batutur dipati punjung maka kata
(10) mana dipati sungay laga ka gati bali
(11) ya haku bajalan baliya tinggan maka baratutur dipati
(12) muda ja mati sama ditanan dingan dipati sungay laga hidak disayan maka tala
(13) buh hukun pangiran kapada dipati punjung
(14) hatat balung handak barahumah pula
(15) muka kata pangiran kapada depati muda bita pagala muda saka tua hidak babunyi dipati
(16) muda muka digala dipati muda(?)
(17) da magala muka dipati punjung mawa hamit balik na’ik karici nampuh jala
(18) n taba pandak tiba situ dipati punjung sakit maka barapangsan maka barapa………
(19) n……..r maguni sampay
(20) kapada dipati sungay laga sarata hanak jantang hanak batina hatat balung dipati
(21) muda kata pangiran kapa(da) dipati punjung dipati sungay laga tiba kapada maguni hidak dila
(22) tas pangsan kapada dipati sungay laga sarata hanak jantan……..hanak batina
(23) maka badiri maguni barimba hidak dihusir dipati…….(riya)tijaput
(24) maguni hitu takut kalah dipati muda mangusir karay (atau karaja?)………
(25) hitu duwa kali tujuh hari lama barimbi hidak kampung ‘a………………
(26) maka pik(i)r magumi maka dijaput dipati sungay laga kac………..
(27) mbung muka mudik sarata hanak batina
(28) bagalar saka galar hanak batina itu galar hanak………..
(29) balik hilir jadi karaja hatat balun muka masuk
(30) kapada kuwak hagih hiya dibalan mangku mamangku masuk ma
(31) ngku hanung sakuwak sabagih dingan mangku gular
(32) maka jadi karan satiya dingan dulu
(33) dulu jaga dihanjak dimakan satiya


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Dari laporan penelitian diatas kita dapat mengetahui bagaimana keadaan naskah di wilayah kerinci. Naskah-naskah yang ada di Kerinci tersebar di dalam negeri dan diluar negeri,luar negeri tepatnya di perpustakaan Koninklijk Institut voor de Taal-, Land-, en Volkenkunde (KITLV) di Leiden, Belanda. Sedang kan dalam negeri selain di Kerinci terdapat di museum koninnklijk bataviaasch genootschap van wetenschappen yaitu di gedung arca betawi. Sedangkan yang berada di Kerinci tersebar di mendapo (Rumah Gedang; Besar atau Rumah Adat) di setiap wilayah kerapatan adat di Alam Kerinci, seperti naskah yang diteliti lansung oleh penulis mendapo Rawang Kota Sungai Penuh-Kerinci (Jambi). Selain itu juga terdapat naskan di surau tua sera tersebar di rumah warga pemilik atau pewaris dari naskah tersebut.
            Naskah yang ada di Kerinci memiliki perbedaan dengan naskah yang tersebar di nusantara secara umum, hal ini dikarenakan naskah yang berada di Kerinci beralaskan tanduk serta beralaskan bilahan bambu yang tanpa diolah disamping kertas, daluang dan lontar. Naskah ini beraksara Arab, Arab Melayu dan aksara Incung atau Rencong (aksara Kerinci) serta dengan menggunakan naskah.      






DAFTAR PUSTAKA
Kocok, Uli. 2006, Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah Naskah Melayu Yang Tertua. Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara danYayasan Obor Indonesia.
Voorvoehe. Tambo Kerinci (bundel), di edit ulang Uli kozok. Honolulu, 6 October 2006.
Mulyadi, Sri Wulan Rujiati 1994 Kodikologi Melayu di Indonesia, Lembar Sastra Edisi Khusus No. 24. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Lubis, Nabilah 1996 Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Forum Kajian Bahasa & Sastra Arab Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah.
 Tedi PermadI, Naskah Nusantara dan Berbagai Aspek yang Menyertainya. Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni - Universitas Pendidikan Indonesia.
Muhammad Ilham dalam http://ulama minang.blogspot.com diakses 18 juni 2012.