Rabu, 24 Juni 2015

KIPRAH RAJA TANAH PILIH PUSAKO BETUAH (KESULTANAN JAMBI) DALAM PENYEBARAN ISLAM



KIPRAH RAJA TANAH PILIH PUSAKO BETUAH  (KESULTANAN JAMBI) DALAM PENYEBARAN ISLAM
Perkembangan Islam di Indonesia sudah berlansung berabad-abad yang lalu, akan tetapi pendapat-pendapat mengenai perkembangan Islam khususnya di Nusantara semakin hari semakin diperdebatkan. Perdebatan tersebut, tidak hanya berlansung tentang perkembangan Islam secara global di Nusantara tetapi juga mengenai perkembangan Islam di daerah-daerah pedalaman tidak luput dari perdebatan tersebut.
Berbicara mengenai masuknya Islam ke suatu wilayah di Nusantara, maka kita akan sering kali dihadapkan kepada tiga persoalan, yaitu kapan Islam pertama kali sampai, siapa yang membawa Islam dan bagaimana proses islamisasi. Islam sebagai sebuah kepercayaan atau agama yang bukan tergolong ke dalam agama pribumi sebelumnya, tentunya hal ini melibatkan berbagai pihak yang ikutserta dalam perkembangannya.
Perkembangan Islam di Nusantara dapat berjalan dengan lancar dan tanpa ada hambatan yang besar, karena ada yang menopang penyiaran Islam tersebut. Salah satu penopang dari penyiaran dan perkembangan Islam di Nusantara, ialah kerajaan atau kesultanan. Hal ini karena, kesultanan merupakan sebuah kerajaan yang bercorak Islam serta kesultanan ini muncul seiring dengan perkembangan Islam di Nusantara.
Pengkajian tentang identitas Islam dalam kesultanan di Nusantara, seringkali menjadi perbincangan dikalangan para sejarawan khusunya bagi kesultanan yang minim dari penulisan sejarah seperti kesultanan yang berada di pedalaman serta tidak sebagai tonggak awal perkembangan Islam di Nusantara seperti Kerajaan Samudera Pasan dan Kesultanan Malaka dll,. Salah satu wilayah kesultanan yang mengalami kemerosotan dalam penulisan sejarah, ialah Kesultanan Jambi. Sehingga dapat dikatakan bahwa, sejarah Islam di Negeri Jambi serta Kesultanan Jambi termasuk sebuah kajian yang diamnesikan dalam sejarah.
Kesultanan dan Islamisasi
Sultan (bahasa Arab: سلطان, sulthaanun, wanita: Sultanah) merupakan istilah dalam bahasa Arab yang berarti "raja", "penguasa", "keterangan" atau "dalil". Sultan kemudian dijadikan sebutan untuk seorang raja atau pemimpin Muslim, yang memiliki suatu wilayah kedaulatan penuh yang disebut Kesultanan (bahasa Arab: سلطنة, sulthanatun).[1] 
Indonesia dikenal sebagai sebuah wilayah yang memiliki banyak kerajaan/kesultanan, hampir di seluruh pulau memiliki beberapa buah kesultanan. Kesultanan di Indonesia tersebar, dari Sabang sampai Merauke yaitu Kesultaanan Aceh hingga Kesultanan Ternate dan Tidore.[2] Kesultanan-kesultanan tersebut, mengalami perkembangan dan kemajuan di bawah kepemimpinan para sultannya sebagai penguasa.
Sebagaimana diketahui bahwa, kesultanan merupakan sebuah produk kekuasaan dari Islam. Islam itu sendiri dikembangkan serta disyiarkan oleh para ulama ke Nusantara yang tidak terlepas dari bantuan raja-raja di Nusantara kala itu sebelum terbentuk sebuah kesultanan. Barulah ketika kesultanan mulai tumbuh dan berkembang, islamisasi di Nusantara juga di galakkan oleh para sultan disamping para ulama.
Sementara itu, sultan sebagai penguasa atau pemimpin sebuah kerajaan Islam yang lazim disebut kesultanan harus bertanggung jawab tentang segala hal yang menyangkut kepemimpinan dan pemerintahannya, diantaranya hal yang berkaitan dengan ideology, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan sebuah kesultanan (IPOLEKSOSBUDHANKAM) yang dipimpinnya. Salah satu hal terpenting yang menjadi tanggung jawab seorang sultan, ialah dibidang ideology tepat dalam penyebaran agama Islam.
Keberadaan sultan sebagai penyebar atau penyiar Islam di Nusantara, menunjukkan bahwa adanya hubungan antara ulama dan sultan dalam menumbuhkembangkan Islam di Nusantara. Dalam hal ini, terlihat keeratan antara sultan yang duduk di istana/kraton dengan ulama yang berkedudukan di Masjid dalam penyebaran Islam. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, perkembangan Islam di Nusantara ditopang oleh kepemimpinan para sultan di istana dengan bantuan para ulama.    
Sebuah teori yang mengemukakan tentang peran seorang sultan dalam penyebaran Islam seperti halnya teori yang sering dipakai oleh Uka Trandrasasmita mengemukakan tentang peranan raja dalam Islamisasi. Ia mengemukankan bahwa, apabila bangsawan (sultan/raja) menganut ajaran atau agama baru rakyat akan mengikutinya. Hal ini dikarenakan para raja/sultan mereka pandang sebagai wakil tuhan di dunia.[3] Salah satu kesultanan di Indonesia yang sangat memperhatikan tentang penyebaran agama Islam ini, ialah Kesultanan Jambi. 
Dalam konteks Islam di Jambi, Islam menyandangi kekuasaan para Sultan Jambi dengan legitimasi. Hal ini karena, adanya anggapanan bahwa keluarga Kesultanan Jambi berasal dari tokoh legendaris Jambi berketurun Turki. Pada periode itu, Turki dipandang sebagai perwujudan ideal Jambi tentang kekuatan ilahi dan sebagai juru selamat.[4]
Islamisasi di Jambi
            Azyumardi Azra mengemukakan, wilayah Jambi termasuk daerah yang paling awal disinggahi oleh pedagang Muslim dari Arab. Hal ini karena terletak di persimpangan Selat Malaka, membuat perairan Jambi menjadi salah satu jalur the favoured commercial coast oleh pedagang dari Cina, India, dan Arab, dan menjadi semakin penting dengan memudarnya pengaruh Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-13 M.[5]
Selama ini ada beberapa pendapat yang berkembang mengenai masuknya dan berkembangnya Islam ke Negeri Jambi. Pendapat pertama, masuknya Islam ke Jambi berhubungan dengan masuknya Islam ke Palembang. Nakhoda Buzurg bin Shahryar yang menulis kitab ‘Aja’ib al- Hind (sekitar tahun 1000) meriwayatkan serta memberi kabar tentang kunjungan pedagang Muslim Arab ke Kerajaan Zabaj (Sabak) atau Sribuzah (Sriwijaya). Selain itu, Ibnu Khurdazbih ahli geografi berkebangsaan Persia dan penulis Kitab al- Masalik wa al-Mamalik (literatur geografis deskriptif berbahasa Arab paling awal, sekitar tahun 846 M), menyebutkan nama-nama tempat atau pulau, seperti Pulau Jabah.[6] Penulis duga bahwa, Pulau Jabah yang dimaksud adalah negeri Sabak yang terletak di Tanjung Jabung Timur provinsi Jambi sekarang.
Mengenai hal yang disebut di atas tadi, ada dua surat yang menerangkan tentang hubungan Jambi dengan Muslim Arab, yaitu surat yang dikirim raja Sriwijaya ke khalifah di negeri Arab. Surat pertama diterima oleh Khalifah Muawiyah (w.41 H /661 M) dan surat kedua diterima oleh Umar bin Abd al-Aziz (99-102 H /717-720 M).[7] Dalam kedua surat ini disebut wilayah Sriwijaya dialiri dua sungai yaitu, Batanghari dan Musi, maka dapat diperkirakan bahwa letak Sriwijaya meliputi Jambi dan Palembang. Jadi dari informasi tersebut dapat disimpulkan  Muslim Arab telah datang ke Jambi pada masa Sriwijaya, yakni di paruh kedua abad ke 7 M.
Pendapat kedua, Islam sudah masuk dan berkembang di Negeri Jambi pada abad ke XV M bersamaan dengan kebangkitan Kerajaan Jambi. Saat dipimpin oleh Putri Selara Pinang Masak, Kerajaan Melayu kedatangan seorang Muslim dari Turki seorang saudagar dan ulama bernama Ahmad Salim atau Ahmad Barus II.[8] Ahmad Salim adalah raja Turki keturunan dari Sultan Saidina Zainal Abidin bin Saidina Husen bin Fatimah Zahra binti Saidina Rasul. Ia menikah dengan Putri Selara Pinang Masak dan dikurnai empat orang anak yaitu Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Kedaratan, Orang Kayo Hitam dan Orang Kayo Gemuk.[9] Melalui pernikahan ini, Islam berkembang pesat di Negeri Jambi dan menjadi agama resmi Kerajaan Melayu, serta titik awal Kesultanan Jambi yang menjadikan Islam semakin berkembang dan tersebar ke seluruh penjuru Jambi.
Pendapat ketiga, sesuai dengan laporan tim peneliti IAIN STS Jambi, mengungkapkan tentang kedatangan seorang ulama dari tanah Arab pada abad ke-17 M yang bernama Sayyid Husin Ahmad Baraqbah tepatnya pada tahun 1615 M. Ketika sampai di Negeri Jambi, ia tinggal di Pecinan daerah tempat menetapnya para pedagang dari Negeri Cina. Di daerah tersebut lah, ia mengenal dan menikah dengan Putri Sin Tay yang bernama Sin Ing tau Siti Fatimah. Akhirnya banyak warga/pedagang Cina di wilayah ini memeluk agama Islam.[10] Nampaknya dalam hal ini ulama yang bernama Sayyid Husin Ahamd Baraqbah, memakai metode perkawinan untuk menyebarkan serta menyiarkan ajaran Islam di Negeri Jambi tepatnya di Pecinan atau Sebrang Jambi sekarang.
Jadi dari pendapat di atas, Islam sudah bersentuhan dengan Negeri Jambi semenjak abad ke-7 dan 8 Masehi. Akan tetapi, pada masa ini Islam belum menampakkan wujudnya ke permukaan atau Islam belum mengepangkan syapnya ini Negeri Jambi dengan kata lin belum di kenal oleh masyarakat luas. Islam baru menampakkan wujudnya di Negeri Jambi, ketika islam telah menjadi agama resmi Kerajaan Jambi pasca kedatangan Ahmad Salim atau Datuk Panduko Berhalo yang menikah dengan Puti Selaras Pinang Masak Raja Kerajaan Jambi di abad ke-15 Masehi. Kemudian beberapa dekade berikutnya tepatnya abad ke-17 Masehi, ketika Islam muali mengalami perkembangan para ulama dari tanh Arab tetap bertangan ke Negeri Jambi untuk menyebarkan syiar Islam, seperti yang dilakukan Oleh Sayyid Husin Ahamd Baraqbah pada abad ke-17 M.
Para Raja/Sultan Jambi
            Sebagai sebuah Kesultanan yang memiliki sejarah yang panjang, tentunya Kesultanan Jambi juga memiliki bebrappa orang raja/sultan yang memerintah dan berkuasa di Negeri Jambi ini. Raja/Sultan di Kesultanan Jambi telah memerintah berturut-turut semenjak berdirinya Kerajaan Jambi pasca terpecahnya Kerajaan Melayu Menjadi dua, yaitu Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan Jambi sekitar awal abad ke-15 Masehi. Setidaknya kerajaan ini, dimulai dari masa kepemimpinan Puti Selaro Pinang Masak (1460-1480) sampai Sultan Thaha Syaifuddin (1855-1904).
            Jika dirunut jumlah semua raja/sultan yang pernah memimpin Kesultanan Jambi lebih kurang 21 orang, terdiri dari delapan orang raja (Rajo) dan tiga belas orang sultan. Adapun nama dan periode kepemimpinan para raja/sultan yang memimpin Kerajaan/Kesultanan Jambi sepanjang sejarah Kerajaan jambi sebagai berikut.
1.         Puti Selaro Pinang Masak (1460-1480); pada masa ini Raja Jambi dikenal dengan sebutan Rajo Melayu Tanh Pilih.
2.         Orang Kayo Pingai (1480-1490);  
3.         Orang Kayo Kedaratan (1490-1500);
Kedua raja di atas, dikenal dengan sebutan Rajo Melayu Jambi.
4.         Orang Kayo Hitam (1500-1515);
5.         Penambahan Rantau Kapas (1515-1540);
6.         Penambahan Rengas Pandak (1540-1565);
7.         Penambahan Bawah Sawo (1565-1590);
8.         Penambahan Koto Baru (1590-1615);
Pada kepemimpinan lima raja di atas, raja dikenal dengan sebutan Rajo Melayu Islam Tanah Pilih.
9.         Sultan Agung Abdul Qahar (1615-1643);
Masa kepemimpinan Sultan Agung Abdul Qahar, sebagai tonggak awal raja/penguasa Kerajaan/Kesultanan Jambi bergelar sultan.
10.     Sultan Agung Abdul Jalil (1643-1665);
11.     Sultan Abdul Muhyi Sri Ingologo (1665-1690);
12.     Sultan Kiai Gedeh (1690-1696);
13.     Sultan Mahmud Syah (1696-1740);
14.     Sultan Sri Maharajo Batu (1696-1721);
Sultan Sultan Mahmud Syah berkedudukan di Tanah Pilih Jambi, sedangkan Sultan Sri Maharajo Batu berkedudukan di Mangun Jayo (M. Tebo) sebagai sultan tandingan.
15.     Sultan Sri Ingologo (1740-1770);
16.     Sultan Anom Sri Ingologo (1770-1790);
17.     Sultan Ratu Sri Ingologo (1790-1812);
18.     Sultan Agung Sri Ingologo (1812-1833);
19.     Sultan Muhammad Fachruddin (1833-1841);
20.     Sultan Abdurrahman Nazaruddin (1841-1855);
21.     Sultan Thaha Syaifuddin (1855-1904).
Sultan Thaha Syaifuddin adalah sultan terakhir Kesultanan Jambi, ia gugur ketika melawan Belanda pada tahun 1904 di Desa Betung Berdarah (Tebo). Selain itu juga terdapat sultan produk Belanda atau sultan yang diangkat oleh penguasa Belanda, dikenal dengan sebutan sultan Bayang. Sultan pada masa ini terdiri dari tiga orang yang memimpin berkisar dari tahun 1858 sampai dengan tahun 1899 Masehi. Adapun nama sultan/raja yang dibawah tekanan belandasebagai berikut:
1.   Sultan Ahmad Nasaruddin/Raden Ahmad (1858-1881);
2.   Sultan Ahmad Mukyidin (1881-1885);
3.   Sultan Ahmad Zainuddin/Pangeran Surio (1886-1906).[11]
Peran Raja/Sultan Jambi Dalam Islamisasi
Seorang sultan atau raja yang merupakan penguasa di sebuah kerajaan/kesultanan, dalam hal ini Kesultanan Jambi juga berperan sebagai tokoh utama dalam penyebaran Islam di Negeri Jambi. Hal ini dikarenakan, Islam telah ditopang oleh kepemimpinan yang berbentuk kerajaan/kesultanan. Dalam artian, apabila seorang raja telah menganut ajaran Islam maka masyarakat akan ikut menganut ajaran yang dianut oleh rajanya. Berikut ini akan dijabarkan serta dijelas beberapa orang Raja/Sultan Jambi yang ikut berperan dalam Islamisasi.
Datuk Paduko Berhalo setelah mengislamkan serta menikahi Tuan Putri Selaras Pinang Masak seorang Raja Jambi keturunan Pagaruyung, iapun menjadi Raja Kerajaan Jambi bersama istrinya. Sebagaimana diketahui bahwa Datuk Paduko Berhalo titik awal Islam di Kerajaan Jambi atau Negeri Jambi,[12] sudah jelas memiliki peran dalam islamisasi apalagi setelah ia menjadi raja di Kerajaan Melayu Jambi.
Pada tahun 1500 sampai dengan 1515 Masehi, Kerajaan Jambi dipimpin oleh Orang Kayo Hitam. Pada masa ini, Kerajaan Jambi dikenal dengan dengan Kerajaan Melayu Islam Tanah Pilih Jambi.[13] Jadi, sudah jelas Islam telah menjadi agama resmi dan identitas Kerajaan Jambi.
Islam telah berkembang di Kesultanan Jambi dan Negeri Jambi pada masa Orang Kayo Hitam, terbukti dengan adanya disebut dalam naskah sejarah Jambi.
Pasal yang tiga puluh enam: Pri menyatokan awal Islam di Jambi zaman Orang Kayo Hitam bin Datuk Paduko Berhalo yang mengislamkannyo. Kepado hijrat Nabi Sallallahi Alaihi Wassalam 700 tahun kepado tahun Alif bilangan Syamsiah, dan kepado sehari bulan Muharam, hari Kemis, pada waktu zuhur, maso itulah awal Islam di Jambi mengucap duo kalimat Syahadat, sembahyang limo waktu, puaso sebulan ramadhan, zakat dan fitrah, barulah berdiri rukun Islam yang limo.
            Sementara itu, selain mengislamkan rakyat Jambi, Orang Kayo Hitam juga mengislamkan tiga orang saudara sepupunya dari keturunan ibunya. Ketiga saudaranya tersebut diberi gelar Sunan Muaro Pijoan, Sunan Kembang Sari dan Sunan Pulau Johor. Disamping itu, Orang Kayo Hitam juga berhasil memadukan dasar hukum pemerintah Kerajaan Melayu dengan ajaran Islam, dikenal dengan sebutan “Adat Bersendi Syarak dan Syarak Bersendi Kitabullah”.
               Adanya perbaduan dasar Kerajaan Melayu Jambi dengan ajaran Islam oleh Orang Kayo Hitam dalam melakukan islamisasi diperlihatkan dengan diberlakukannya undang-undang pemerintahan Pucuk Undang Nan Delapan, hukum ini berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Adapun beberapa isi dari undang-undang tersebut sebagai berikut.
            Dalam pasal pertama, undang-undang ini menjelaskan mengenai perbedaan antara hukum adat dengan syarak. Penjelasan-tersebut disertai dengan dalil al-qur’an, seperti Ahadu Hasyar’an Mulazimu Wassani ‘Adatil Qauwiyi salah satu dari pada syarak yang lazim dan adat yang kawi, Lianna Syar’an Mueafiqatil Ulama dari karena bahwasanya syarak itu memufakat segala ulama, serta Lianna ‘Adatil Qawiyi Muwa Fiqati Bisyaiidi Fil Bilad dari karena bahwasanya adat yang kawi itu mufakat dengan penghulu dalam negeri.
            Pasal kedua dari undang-undang ini menjelaskan tentang dakwa-dakwa. Sebagaimana dijelaskan bahwa dakwa dalam hukum syarak tiga perkara pertama syarak, kedua dakwa serta makruf dan ketiga dakwa majhul namanya. Jawab dari tiga dakwa ini tiga perkara pula pertama jawab isabat, jawab naïf dan ketiga jawab nuntut dan nafi isabat. Nampak pada bagian ini, undang-undang mengatur tentang hukum dakwa yang didasarkan pada kitab Dakwa Al Mudda’I ‘Ala Bayyina Walyamini A’la Munkir artinya saksi atas yang memenuntut dan sumpah atas simunkir.
            Dua pasal di atas, adalah pasal bagian awal dalam pucuk undang ngan delapan. Berikut ini akan dilihat isi dari undang ini bagian tengah, yaitu pasal ke tiga puluh dua. Dalam pasal ini dijelaskan tentang ketentuan saksi, pertama keluar perempuan masuk laki-laki, kedua keluar pasik masuk taat, ketiga keluar gila masuk berakal, keempat keluar sahaya masuk merdeka. Inilah yang boleh dan sah menjadi saksi. Selain itu, dalam bagian ini juga disebut bahwa bermula Allah SWT jua yang sebenar-benar saksi yang lebih mengetahui dan amat mendengar perkataan hambanya.
            Pasal-pasal di atas, ialah bebrapa isi dari pucuk undang ngan delapan. Ketentuan ini diterapkan serta diberlakukan oleh Orang Kayo Hitam dalam mengarungi kepemimpinannya di Kerajaan Jambi. Bahkan pemakaian pucuk undang ini, juga diteruskan sampai masa raja atau sultan berikutnya setelah Orang Kayo Hitam mangkat dan turun tahta dari Kerajaan Jambi.
            Pada tahun 1615 sampai dengan tahun 1643 Masehi, kerajaan ini diperintah oleh Pangeran Kedak atau dikenal dengan sebutan Sultan Abdul Qahar. Pada masa inilah penggunaan gelar sultan untuk nama Raja Jambi di proglamirkan.[14] Hal ini ditandai dengan pergantian gelar raja (rajo) atau panembahan menjadi sultan. Ini merupakan sebuah bentuk yang menunjukkan bahwa pada masa ini Islam telah menunjukkan jati dirinya di Kerajaan Jambi karena penguasanya telah bergelar sultan seperti Kerajaan Islam lainnya, maka kerajaan ini pun berubah menjadi sebuah kesultanan sesuai dengan nama gelar yang disandang oleh pemimpinnya.
            Pada tahun 1690 sampai dengan tahun 1696 Masehi, Kesultanan Jambi diperintah oleh Sultan Kiyai Gede atau Raden Candra serta ia juga bergelar Pangeran Depati Cakranegara. Pada masa kepemimpinannya, ia tidak hanya mengembangkan syiar Islam di Negeri Jambi saja melainkan sampai ke negeri jirannya yaitu negeri pucuknya yang dikenal dengan sebutan Merangin-Kerinci.
            Sultan Kiyai Gede, mengembangkan ajaran Islam tepatnya dibidang penguatan tauhid serta himbauan menhentikan hal yang dilarang atau bertentangan dngan syarak. Hal ini tersurat dalam naskah di Wilayah Alam Kerinci yang berbunyi sebagai berikut.
“………………….Maka yang terlebih mungkar pada syara’ itu yaitu empat perkara: Pertama jikalau kematian jangan diarak dengan gendang, gung, serunai dan bedil dan kedua, jangan diberi laki-laki bercampur dengan perempuan bertauh nyanyi suatu tempat dan kedua jangan bersalih memuji hantu dan syetan dan batu, kayu dan barang sebagainya dan ketiga jangan menikahkan perempuan dengan tiyada walinya dan keempat jangan makan minum yang haram dan barang sebagainya daripada segala yang tiyada diharuskan syarak. ……….”.[15] 
Naskah ini dikirim oleh Sultan Kiyai Gede melalui Pangeran Temenggung di Muaro Mesumai,yakni Pangeran Ratu Negara ke Depati Sandaran Agung serta Depati Empai dan Delapan Helai Kain. Naskah ini juga diketahui oleh Tuan Sidi Abdulmu’min. Kemungkinan beliau merupakan penasehat bidang keagamaan di Kesultan Jambi pada masa kepemimpinan Sultai Kiyai Gede.
Pada masa kepemimpinan Sultan Anom Sri Ingologo tahun 1770 sampai dengan tahun 1790 Masehi, juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Sultan Kiyai Gede dalam menyebarluaskan atau mengeras hukum Islam di Alam Kerinci. Hal ini termaktub dalam naskah di Alam Kerinci yang berbunyi sebagai berikut.
“……… . Mufakatlah kamu dengan segala……yang di dalam ‘alam Kerinci mendirikan agama Rasul Allah salla llahu ‘alaihi wasallam dan se-boleh2nya buangkan kamu barang yang mungkir……….. mufakatlah kamu mehubahkan dilarangkan Allah ta’ala dan Rasulnya karena dunia ini sangatlah akhir. Sebaikbaiknya kamu dirikan ugama yang sebenarnya ……”.[16]
            Naskah ini dikirim oleh Sultan Anom Sri Ingologo melalui Pangeran Sukarta Negara untuk wasyah yang karim wakalbu salim yaitu Kiyai Dipati Sanggaran Agung, Depati Empat, Dipati Tujuh dan Dipati Dua Belas serta dipati yang ada dalam Alam Kerinci. Naskah ini tetanggal pada hari Selasa 25 Jumadilakhir, tepatnya tanggal 21 bulan 7 tahun1778.
 Usaha menyebarluaskan atau penyiaran Islam terakhir dilakukan oleh sultan, ialah pada masa Sultan Ratu Sri Ingologo atau Pangeran Mas’ud Badaruddin di tahun 1790 sampai dengan tahun 1812 Masehi. Ia juga ikut dalam usaha meningkatkan eksistensi Islam di Alam Kerinci.  Sebagaimana tersurat di dalam naskah piagam tersebut, adapun bunyinya sebagai berikut: 
“…… . Menitahkan segala haji-haji dan segala Syekh dan segala Pakih dan segala Imam Khatib akan jadi penghubung segala hukum depati dengan hukum Kitabullah, karena segala Malim yang tersebut itu mengetahui segala yang patut didenda segala depati dan mengetahui segala halal haram pekerjaan depati, karena syara’ itu ibu bapak segala pekerjaan. Itulah perintah dari duli Sultan serta Pangeran Suria Kesuma serta Pangeran Ratu, serta Kadli dalam Negeri Jambi adanya.[17]
            Sementara itu, dalam naskah tersebut banyak diselingi dengan ayat-ayat Al-Qur’an.Salah satu diantaranya, yaitu terdapat pada baris ketiga dalam naskah tersebut.
“….. Dalil di dalam qur’an 'in takhkum bainannaasi ‘an takhkum bil’adlihi, artinya: hukumkan antara segala manusia dengan hukum yang adil dan pula firman Allah fa’in tanaazaktum fi shay’in farudduuhu ‘ilallahi warrasuli, artinya: maka jika bersalahan mereka itu pada suatu2 kembalilah pada kata Allah dan kata Rasul,… .[18]
            Naskah di samping, di tulis oleh Haji dan seorang Imam atas perintah Sultan dan Sultan Kesultanan Jambi. Tepatnya disurati (ditulis) oleh Haji ‘Umar serta tuan Imam Dereuh di Sungai Tabir atas perintah Pangeran Suria Kesuma, Pangeran Ratu dan Raja Sultan Mas’ud Badruddin serta qadli dalam Negeri Jambi untuk para depati di Alam Kerinci pada tahun 1208 H atau 1793 M. Naskah tersebut, dikirim ke Mendapo Hamparan Rawang untuk para depati di Alam Kerinci khususnya Depati Empat Delapan Helai Kain. Hal ini karena, Hamparan Besar Tanah Rawang sebagai balairung pertemuan Depati Empat Pemangku Lima Delapan Helai Kain.[19]
            Masa ini dikatakan masa terakhir Kesultanan Jambi memperhatikan perkembangan Islam, karena masa berikut sultan Kesultanan Jambi disibukan pengaruh dari luar seperti konflik antara Jambi dengan Palembang. Selain itu, Sultan Kesultanan Jambi memfokuskan pada pertahanan dan keamanan Negeri Jambi dari kolonial Belanda dengan misi kolonialisasinya di Negeri Jambi.
Kesimpulan
            Agaman Islam merupakan agama resmi dan sebagai identitas Kerajaan/Kesultanan Jambi semenjak masa kepemimpinan Orang Kayo Hitam di Negeri Jambi. Berbagai bentuk islamisasi yang dilakukan oleh Orang Kayo Hitam dalam mengakkan syiar Islam di Kesultanan Jambi. Salah satunya dengan memberlakukan perpaduan antara adat dengan syarak yang terhimpun dalam Pucuk Undang Ngan Delapan.
            Sementara itu, para sultan/raja yang memerintah setelah Orang Kayo Hitam juga melakukan eksistensi penyiaran dan pengembangan Islam di Negeri Jambi. Bahkan para raja/sultan juga sampai menyiarkan Islam dalam bidang mengeraskan hukum syarak seperti yang dilakuakan di Alam Kerinci. Hal ini dilakuakan dengan pengiriman sepucuk surat dan piagam dari Kesultanan Jambi melalui Pangeran Temenggung yang berkedudukan di Muaro Mesumai kepada para depati di Alam Kerinci.
            Dengan dekimian, dalam penyebaran Islam di Negeri Jambi tidak hanya dilakuakan oleh para ulama. Akan tetapi juga dilakukan oleh raja/sultan yang memerintah kala itu, maka dalam hal ini dapat dikatakan sultan sebagai penyiar agama Islam di Negeri Jambi selain para ulama.       




Daftar Pustaka
Naskah:
Lembaran Naskah Mendapo Rawang
Naskah Melayu yang ditulis oleh Ngabihi Shuto Dilogo, Ini Sejarah Kerajaan Jambi Sejak Tahun 700 Hijriah.

Naskah Ngebi Sutho Dilogo Priyayi Rajo Sari, Silsilah Raja-raja Jambi: Undang, Piagam dan Cerita Rakyat Jambi.
Buku
Azra, Azzumardi. Jaringan Ulama Timut Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII : Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung ; Mizan , 1992.

Al Munawir, Ahmad Warson. Kamus Bahasa Arab, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997.

Deki Syaputra. ZE. Islamisasi di Wilayah Alam Kerinci (Studi Terhadap Naskah Surat dan Piagam), Padang: Skripsi Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIn Imam Bonjol Padang, 2013.

Harun, M. Yahya. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII, Yogyakarta: PT. Kurnia Kalam Sejahtera,1994.

Locher, Elsbeth. Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial (Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda, Jakarta: Banana KITLV, 2008.

Lindayanti, dkk., Jambi Dalam Sejarah 1500-1942, Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, 2013.

Muchtar Agus Cholif, Timbul Tenggelam Persatuan Wilayah Liak XVI Tukap Tuhut di Bumi Undang Tambang Teliti, Jambi: [t.p], 2009.

Sumardi, Mulyanto (ed.). International Seminar on Islam in Southeast Asia, Jakarta: Lembaga Penelitian IAIN Syarif Hidayatullah, 1986.

Schrieke, B. J. O,. Indonesia Sociological Studies, Part One, Den Haag dan Bandung: Van Hoeve, 1955

Tim Penulis, Kesultanan Jambi Dalam Konteks Sejarah Nusantara, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011.

Voerhove. Tambo Kerinci, Salinan Tulisan Jawa Kuno, Incung dan Melayu Disimpan Sebagai Pusaka Di Kerinci, Leiden [t.p, 1969].

        





      









[1] Ahmad Warson Al Munawir, Kamus Bahasa Arab, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997, hlm. 650.
[2] Lihat M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII, Yogyakarta: PT. Kurnia Kalam Sejahtera, hlm. 11-99. 
[3] Uka Trandrasasmita, The Arrival and Expansion of Islam in Indonesia in Relation to South-east Asia, dalam Mulyanto Sumardi (ed.), International Seminar on Islam in Southeast Asia, Jakarta: Lembaga Penelitian IAIN Syarif Hidayatullah, 1986), hlm. 24.
[4] Elsbeth Locher, Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial (Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda, Jakarta: Banana KITLV, 2008, hal. 23.
[5] B. J. O. Schrieke, Indonesia Sociological Studies, Part One, Den Haag dan Bandung: Van Hoeve, 1955, hal. 16
[6] Uka Tjandrasasmita, Op cit., hal 11 dan Lihat juga Azzumardi Azra, Jaringan Ulama Timut Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII : Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung ; Mizan , 1992, hal. 42
[7] Azzumardi Azra, Ibid., hal. 42
[8] Lindayanti, dkk., Jambi Dalam Sejarah 1500-1942, Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, 2013, hlm. 129.
[9] Naskah Melayu yang ditulis oleh Ngabihi Shuto Dilogo, Ini Sejarah Kerajaan Jambi Sejak Tahun 700 Hijriah, Lembaran ke tiga belas dan lembaran pertama.
[10] Tim Penulis, Kesultanan Jambi Dalam Konteks Sejarah Nusantara, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011, hlm. 75-76.
[11] Lihat dalam Muchtar Agus Cholif, Timbul Tenggelam Persatuan Wilayah Liak XVI Tukap Tuhut di Bumi Undang Tambang Teliti, Jambi: [t.p], 2009, hal. 79-80. Lihat juga Lindayanti, op Cit., hlm.131-132. Selain itu, lihat juga Ngebi Sutho Dilogo Priyayi Rajo Sari, Silsilah Raja-raja Jambi: Undang, Piagam dan Cerita Rakyat Jambi, disunting oleh Ratu Mas Zahra, Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, 2005, hlm. 40-41.
[12] Naskah Melayu yang ditulis oleh Ngabihi Shuto Dilogo, op Cit., lembaran ke Sembilan belas.  
[13] Muchtar Agus Cholif, op Cit., hlm. 79.
[14] Tim Penulis, op Cit., hlm. 49.
[15] Naskah Kuno di Mendapo Liling Danau dalam Voerhove. Tambo Kerinci, Salinan Tulisan Jawa Kuno, Incung dan Melayu Disimpan Sebagai Pusaka Di Kerinci, Leiden [t.p, 1969].

[16] Ibid.,
                [17] Dalam Naskah Surat di Mendapo Rawang, baris ke 11 s/d 14.
[18] Ibid,.baris ke 3
[19] Deki Syaputra. ZE, Islamisasi di Wilayah Alam Kerinci (Studi Terhadap Naskah Surat dan Piagam), (Padang: Skripsi Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIn Imam Bonjol Padang, 2013), hlm. 72.

0 komentar:

Posting Komentar