Rabu, 24 Juni 2015

SERINTIK TENTANG SEJARAH KUMUN (KERINCI)



Ditulis Oleh : Deki Syaputra. ZE, S. Hum
SERINTIK TENTANG SEJARAH KUMUN (KERINCI)
A. Asal Usul Nama Kumun
Saat ini belum banyak yang menerangkan mengenai asal usul nama Kumun, berikut ini akan di jelaskan sekelumit tentang asal usul lekatnya nama suatu daerah dengan sebutan Kumun. Kata “Kumun” berasal dari kata kmu. Kmu berasal dari kata tmu atau temu yang di ambil dari kosakata pertemuan.
Hal di atas, di dasarkan pada sebuah catatan yang menerangkan bahwa di wilayah ini terdapat sebuah tempat berapat atau pertemuan raja-raja, baik raja dari wilayah tetangga atau negeri jiran Alam Kerinci, maupun para pemuka masyarakat dan tetua adat di Alam Kerinci. Salah satunya adalah pertemuan Raja Sultan Geger Alam Syah dari Indrapura (Minangkabau), Pangeran Temenggung Kabul Dibukit dari Mesumai, Bangko (Jambi) dan para depati di Alam Kerinci (Depati IV-VIII Helai Kain), melakukan rapat perjanjian untuk mewujudkan dan meningkatkan keamanan, kesejahteraan, dan musyawarah menentukan batas wilayah dari ketiga daerah tersebut. Rapat ini juga dihadiri dan disaksikan oleh Rajo Bakilat dari Siulak dan Nymapai Siung (Nymape Siao) dari Kumun.[1] Tempat berapat tersebut, di sebuah bukit yang dinamai dengan Bukit Setinjau Laut atau Bukit Paninjau Laut yang terletak di wilayah Koto Temu atau di wilayah Depati Sempurno Tiang Bumi Putih.[2]
Jadi, dari kata pertemuan itulah muncul kata temu yang dikemudian hari, berubah menjadi Kemu dan dibahasa Indonesiakan menjadi Kumun. Sebutan Kumun, juga terdapat dalam naskah kuno di wilayah lain di Alam Kerinci yang menyebutkan nama wilayah ini dengan sebutan Kemun.[3] Selain itu, penulis juga bependapat bahwa Kumun juga berawal dari kata “temu” dan juga berasal dari kata pertemuan. Ini didasarkan pada wilayah Kumun yang ditinggali masyarakat setempat saat sekarang dijadikan tempat bertemunya empat pemuka masyarakat dari empat koto[4], ketika bermusyawarah dan untuk persiapan menghadap Pangeran Temengung Kabul Dibukit di Muaro Mesumai Bangko.
Sementara itu, jika di analisa isi dari naskah kuno yang ada diwilyah tersebut, menyebutkan asal usul nama Kumun ini, walaupun tidak menjelaskannya secara lansung dan jelas. Naskah tersebut menyebutkan “batang airnyo kemuan sungai panjang”.[5] Fakta menunjukkan bahwa Kumun sekarang memang memiliki sungai yang panjang dan sungai tersebut saling berhubungan dan memiliki satu muara, yaitu sungai Muara Air. Jadi dapat kita tarik kesimpulan bahwa asal kata Kumun berasal dari nama Sungai Kemuan yang akhirnya menjadi nama wilayah tersebut yang disebut dengan Kumun sekarang ini.
Sementara itu, Tahar Ramli[6] menyebutkan wilayah Kumun, tepatnya di sekitar perbukitan Batu Sandaran Galeh dulunya merupakan salah satu jalan para pedagang dari Alam Kerinci untuk berdagang ke Negeri Lunang di Indrapura. Hal ini seiring dengan pendapat atau cerita tetua-tetua Kumun yang menyatakan bahwa, pada masa dahulu di atas perbukitan dekat Desa Sandaran Galeh sekarang terdapat batu tempat para pedagang menyandarkan galehnya (barang bawaan), inilah asal usul penamaan dari Desa Sandaran Galeh tersebut.
Pendapat di atas, berhubungan dengan asal usul penamaan Kumun yang berasal dati kata temu, bertemu atau pertemuan. Sebagaimana disebut tadi bahwa, wilayah ini merupakan jalan para pedagang dari Alam Kerinci tepatnya tempat bertemunya para pedagang dari seluruh wilayah Alam Kerinci baik ketika pergi maupun pulang berdagang dari negeri Lunang dengan melalui Batu Pintu (Batu Pintau), dalam salah satu naskah di Alam Kerinci disebut dengan Batu Bapintu.
Itulah sekelumit tentang asal usul nama Kumun, didasarkan pada tradisi lisan atau cerita turun temurun yang berkembang dalam masyarakat di wilayah ini. Hal ini, juga disertai dengan analisa penulis dan didukung dengan data-data yang dapat menguatkan pendapat tersebut. Kesimpulan ini bukanlah kesimpulan yang mutlak, melainakan kesimpulan awal yang penulis dapatkan dan kesimpulan ini dapat dibantah jika ada pendapat lain yang benar dan kuat buktinya.
B. Asal Usul Terbentuknya Kedepatian Depati Empat Kumun
Pada awalnya wilayah Kumun tidak memiliki pemerintahan berupa kedepatian, sedang di wilayah lain sudah terdapt pemerintahan depati, yang dikenal dengan Depati Tujuh Helai Kain, Depati Empat Helai Kain Dan Depati Delapan Helai Kain. Hal ini dikarenakan, wilayah Kumun belum mendapat gelar adat serta ajun arah tanah kekuasaan adat dari pihak Kesultanan Jambi atau pihak pangeran temenggung yang berkedudukan di Muaro Mesumai (Bangko). Hal tersebut dikarenakan Kumun adalah salah satu wilayah yang tidak ditempuh atau dilalui raja (Pangeran Temenggung Kabul Dibukit), serta wilayah tersebut sangat kecil kala itu dan penghuninyapun masih sedikit.
Selain itu, wilayah ini juga berdekatan dengan wilayah Sungai Penuh, seakan-akan wilayah ini satu dalam kesatuan. Dimana pada masa ini, wilayah Sungai Penuh memegang jabatan sebagai Pegawai Rajo, Cermin yang tiada kabur, memegang kitab Allah,[7] istilah ini sering juga disebut, Pegawai Rajo Pegawai Jenang Suluh Bendang Dalam Negeri Kiyai/Depati Nan Bertujuh Di Alam Kerinci (Suluh Bendang Depati Empat Delapan Helai Kain). Ada sebuah ungkapan yang lazim disebut oleh para tetua adat Sungai Penuh, yaitu wilayah Kumun dan Sungai Penuh sepeluk dan sepangku. 
Orang Kumun kala itu, suka mengikuti orang banyak karena jumlah mereka sedikit serta daerahnya masih kecil dibandingkan wilayah lain, dimana pada masa ini wilayah Kumun hanya terdiri dari 4 (empat) koto saja. Sehingga Kumun, ikut saja kemana arah angin membawanya asalkan mereka tidak rugi dan tidak ditindas serta tidak membahayakan masyarakat dan wilayah Kumun tersebut. Di dalam deto telitai,[8] yang bersumber dari manuskrip yang ditemukan di Kerinci, menyebutkan bahwa wilayah kumun adalah pengikut, seperti berikut ini;
“ ………Di lembak napal yang berjenjang dua, di darat surian yang berjenjang tiga, maka di mudik ke Ujung Pasir Peninjau danau, Semerah tidak berbasa, Tanjung pondok alang semuang, orang Kumun suka menurut, cupak dikilan Manti Rang empat, Sungai Penuh Pagawe Raja Pagawe Jenang Suluh Bendang Depati Empat Helai Kain,……”.[9]     
Kalimat “orang Kumun suka menurut” di atas, jangan sampai salah di artikan, karena kata “menurut” disana tidak merujuk kepada pengikut atau jajahan. Melainkan kata tersebut, memiliki makna tidak membangkang atau menerima keputusan orang lain, selagi keputusan tersebut benar dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Walaupun demikian bukan bearti wilayah lain bisa semena-mena dengan wilayah Kumun dan masyarakatnya. Jika hal itu terjadi, wilayah ini sangat menentang bahkan sanggup bertempur atau berperang.
Wilayah Kumun baru mendapat wilayah Adat pada tahun 1106 H atau 1694 H, yaitu wilayah dan kepemimpinan adat sendiri, dengan mendapo hutan, mendapo tanah, depatai dinga burampak (berempat). Hal ini berlaku, setelah dikeluarkannya surat piagam dan slak oleh Temenggung Kabul Dibukit dari Muaro Mesumai Bangko. Maka dari itu, tersebutlah sebuah kepemimpinan adat Depati IV di wilayah empat koto di Kumun (Kmu). Penyerahan tersebut juga disaksikan oleh Depati Setio Rajo[10] yang merupakan depati yang terhimpun kedalam Depati Tujuh Helai Kain atau Depati Tiga Helai Kain di Kerinci Rendah. Setelah penjeputan gelar sko ke Muaro Mesumai, maka wilayah ini di anjurkan untuk membentuk dusun oleh Pangeran Temenggung Kabul di bukit.
Penjeputan gelar adat tersebut di atas, di prakarsai atau dilakukan oleh perkawakilan dari empat koto diwilayah Kumun. Dimana setiap koto diwakili oleh dua orang perwakilan, yaitu:
1.         Abaeh Nyalo dari Koto Pinang yang didampingi oleh Nyampe Siao.
2.         Tekhuk dari Koto Kemu yang didampingi oleh Pati Balo Hitam Kinantan Lidah
3.         Panglimo Jati Ladang dari Koto Luar didampingi oleh Kecaik Nyatao
4.         Kilat Tungga dari Koto Tuo didampingi oleh Paningko Kecaik.
Hasil dari pertemuan dengan Pangeran Temenggung tersebut, di putuskan Tenkhuk dari Koto Kemu di kukuhkan gelar  Depati Sampurno Tiang Bumi Putih,  Abeah Nyalo dari Koto Pinang dikukuhkan gelar  Depati Galang Negeri, Kilat Tungga dari Koto Tuo dikukuhkan gelar Depati Puro negoro dan Panglimo Jati dari Koto Luar dikukuhkan Depati nyoto Negoro.[11]
Pejeputan gelar dan keputusan wilayah kekuasaan tersebut, oleh perwakilan dari empat koto ke pihak Kerajaan Jambi, karena terjadi perjalanan singkat Pangeran Temenggung Kabul Dibukit ke Kerinci untuk melihat sosial budaya dan agama masyarakat Kerinci yang terletak antara Kerajaan Indrapura (Minangkabau) dan Kerajaan Jambi. Setiap negeri yang dikunjungi dan dilaluinya, menyerahkan tanda mata selembar atau segabung kain sutera, sekaligus mengukuhkn dan meresmikan gelar kedepatian kepada tuan rumah seperti:
1.         Temiai gelar Depati Muara Langkap
2.         Pulau Sangkar Depati Rencong Telang
3.         Pengasi Depati Biang Sari
4.         Hiang Tinggi Depati Atur Bumi
Depati Atur Bumi menyampaikan kepada Pangeran Temenggung, bahwa ada 8 (delapan) daerah lagi yang perlu perhatian, maka kain yang satu lembar di bagi /di potong menjadi delapan potongan, inilah yang disebut dengan tiga di hilir satu Tanah Rawang dan tiga dimudik satu Tanah Rawang, jadi semuanya delapan yaitu:
1.         Depati serah bumi di seleman
2.         Depati atur bumi di hiang
3.         Depati mudo di penawar
4.         Depati mudo di hamparan rawang
5.         Depati Kepalo Sembah di Semurup
6.         Depati situwao di Kemantan
7.         Depati Tujuh di Sekungkung
8.         Depati niat di Hamparan Rawang.[12]
Sementara itu, sebelum Pangeran Temenggung mengunjungi wilayah tersebut di atas, beliau terlebih dahulu mengunjungi tiga wilayah di Kerinci rendah, yaitu wilayah Lubuk Barung digelari Depati Setio Raja, wilayah Nalo digelari Depati Setio Beti dan Wilayah Tanah Renah digelari Depati Setio Nyato. Inilah yang dengan Depati Tiga Helai Kain di Kerinci Rendah atau bagian dari Depati Tujuh Helai Kain di Alam Kerinci, dari ketiga depati diatas salah satunya pernah sebagai saksi penyerahan piagam dan slak oleh Pangeran Temenggung kepada orang empat koto (Kumun), yaitu Depati Setio Rajo, seperti yang telah disebut di atas tadi.
Menurut para tetua adat wilayah Depati IV Kumun Debai, dengan adanya perjalanan atau kunjungan Pangeran Temenggung ke wilayah Alam Kerinci dan memberi kain kebesaran dan pengukuhan gelar adat, untuk setiap wilayah yang disinggahinya. Namun kunjungan tersebut berdampak terhadap wilayah empat Koto Kumun, mereka merasa pemerintahannya terusik sehingga  untuk dapat tegak sama tinggi duduk sama rendah dengan pemerintahan yang sudah dikunjungi Pangeran Temenggung, mereka bermusyawarah dan pergi menjebut gelar Kemuaro Mesumai.[13] Itulah sebabanya, kenapa para tokoh atau tetua empat kota menjeput dan mendapat gelar adat serta tanah wilayah yang sesuai dengan terlampir di dalam slak dan piagam, yaitu pada tahun Hijrah Nabi Salallah Alaihi Wassalam pada Tahun Seribu Seratus Enam Tahun Alif, pada selikur hari Bulan Sya’ban pada Hari Ahad.
Penulis bertolak belakang dengan pendapat di atas, karena hal yang mustahil jika para tetua empat koto Kumun merasa eksistensinya terganggu, dan menjeput gelar adat tersebut setelah puluhan tahun lamanya wilayah lain mendapat pengukuhan, bahkan sudah mencapai seratus tahun lebih kepemimpinan kedepatian di beberapa wilayah di Alam Kerinci. Asumsi tersebut, penulis dasarkan kepada tahun yang tertera pada slak dan piagaam wilayah Depati IV Kumun, yaitu tahun 1106 atau 1694. Jadi dapat di perkirakan sekitar tahun tersebut tokoh masyarakat empat koto menjeput gelar adat atau pengakuan ke Muaro Mesumai. Sedangkan Pangeran Temenggung, melakukan kunjungan ke wilayah Alam Kerinci serta mengukuhkan gelar adat untuk wilayah yang disinggahinya sekitar tahun 1526 M semisal dengan 933 H.
Selain itu, ada juga yang berpendapat yang menjadi penyebab tokoh masyarat wilayah empat koto, menjeput menghadap Pangeran Temenggung untuk mendapat gelar dan pengakuan, karena pada masa dahulu terjadilah peperangan antara wilayah Kumun dengan Sungai penuh, peperangan ini terjadi karena wilayah Kumun menolok menjadi pegawai rajo dan pegawai jenang Sungai Penuh atas permintaan Sungai Penuh, Kumun tidak mau tunduk ke wilayah Sungai Penuh karena Kumun ingin berdiri sendiri. Setelah peperangan tersebut selesai konon katanya dimenangkan oleh orang Kumun, sehingga tetua atau tokoh masyarakat Kumun kala itu, beinisiatif untuk menjeput gelar adat ke hadapan Pangeran Temenggung Kabul Dibukit yang berkedudukan di Muaro Mesumai. Hal ini dilakukan, agar wilayah Kumun duduk samo rendah tegak samo tinggi dengan wilayah kedepatian lain. Permintaan tokoh masyarakat tersebut dipenuhi oleh Pangeran Temenggung sehingga wilayah Kumun berdiri sendiri dan mendapat gelar kedepatian, yaitu depati IV Kumun.[14]
Menurut penulis, pendapat di atas terdapat kejanggalan. Asumsi ini didasarkan atas jabatan yang dipegang Sungai Penuh pada masa itu, yaitu sebagai pegawai raja dan pegawai jenang[15], tidaklah mungkin pegawai akan memiliki pegawai lagi, dalam artian tidak mungkin Kumun menjadi pegawai Sungai Penuh, karena sungai penuh bukanlah pusat pemerintahan kedepatian di Alam Kerinci (Depati IV-VIII Helai Kain) kala itu, malainkan Sungai Penuh hanya sebagai pegawai, yaitu suluh bendang dalam negeri atau kiyai nan bertujuh di Alam Kerinci.
Sementara itu ada juga yang berpendapat, pada masa dahulu wilayah IV Koto diserang dari segala penjuru oleh para suluh bendang dalam negri dan para pemuka masyarakat (depati) yang telah mengeraskan hukum syarak. Peristiwa ini terjadi di Koto Tuo (Kumun), hal ini terjadi karena di wilayah ini masih merejalela perjudian, minum tuak dan menyabung ayam serta Asyek. Oleh sebab itulah wilayah ini diserang serta dihanguskan oleh suluh bendang dalam negeri dan para depati di wilayah lain. Maka dengan adanya penyerangan tersebut, tokoh (tetua)  masyarakat merasa kepemimpinanya terganggu. Setelah mereka menerima kekalahan dan mau menjalankan perintah, dari suluh bendang dalam negeri, maka mereka mengambil keputusan untuk menjeput gelar ke Muaro Mesumai. Pihak perwakilan Sulthan Jambi mengabulkan permintaan mereka dan piagam gelar adat diserahkan kepada tokoh masyarakat tersebut, beserta piagam tanah kekuasaan depati yang berempat tersebut.
Penulis sependapat dengan pendapat yang ketiga di atas, karena menurut orang tua-tua di wilayah setempat pada masa dahulu, memang salah satu pusat Asyek di wilayah Kumun. Penulis semakin yakin dengan hal tersebut, setelah pengakuan dari salah seorang depati di wilayah Kumun yang menyatakan kebenaran hal tersebut. Kebenaran tersebut, tampaknya sengaja di sembunyikan karena dapat merusak harkat dan martabat, serta akan mengakibatkan wilayah lain berpandangan buruk terhadap wilayah Kumun itu sendiri.
Jadi dari pernyataan di atas, wilayah ini baru menerima gelar dan wilayah adat setelah dilakukannya pembasmian hal-hal yang tidak sesuai dengan hukum syarak oleh suluh bendang dalam negeri, dalam artian wilayah ini agak terlambat dalam berkembangnya Islam. Oleh sebab itulah Pangeran Temenggung mengabulkan permintaan tokoh masyarakat tersebut, agar tokoh masyarakat tersebut dapat menguatkan Islam di wilayahnya. Mustahil jika seorang sultan atau pangeran Kesultanan Islam akan memberi gelar serta wilayah kekuasaan kepada suatu wilayah, apabila wilayah tersebut tidak mau menerima dan mengikuti ajaran dari kesultanan itu sendiri, seperti halnya ajaran Islam sebagai agama resmi Kesultanan/Kerajaan Jambi kala itu.




                [1] Iskandar Zakaria, Tambo Sakti Alam Kerinci, Dinas P dan K, 1984 hal. 26
                [2] Salah satu nama gelar Depati dari empat Depati di wilayah Depati IV Kumun Debai yang di anugrahi Pangeran Temenggung Kabuk Dibukit.
                [3] Dalam Naskah kuno di Mendapo Kemantan, lihat dalam Voerhoeve, Tambo Kerinci, 1942.
                [4] Sebutan untuk wilyah yang sekarang di sebut dengan Kumun, karena pada masa dahulu wilyah ini terdiri dari empat perkampungan yang disebut dengan Emapat Koto.
                [5] Dalam naskah Slak Depati IV Kumun Debai.
                [6] Seorang sejarawan dan dosen pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Universitas Negeri Padang (UNP). Beliau berasal dari Pulau tengah (Kerinci).   
                [7] Dalam lembaran naskah di Mendapo Limo Dusun Sungai Penuh.
                [8] Deto Talitai ialah pidato adat yang disampaikan dalam upacara Kenduri Sko (upacara adat) ketika pemberian, pengukuhan gelar kebesaran adat Alam Kerinci, seperti Depati dan Ninik Mamak.
                [9] Dinas P dan K, Adat dan Budaya Daerah Kerinci, [t.p], 2003, hal. 97.
                [10] Depati Setio Rajo adalah seorang depati yang berkedudukan di Lubuk Barung (Bangko) yang merupakan bagian dari Depati Helai Kain di Kerinci Rendah dulunya.
                [11] Dalam makalah diskusi adat Kumun, 2012.
                [12] Iskandar Zakaria, Op cit., hal. 22.
                [13] Tulisan tentang Selamat Datang Di Wilayah Deapati Empat Kumun Debai Batu Gong Tanah Kurnia, Narasumber H. Amiruddin, Dpt. Dan wawancara Penulis dengan Samsu AD, Dpt, 2013. 
[14] Samsu AD, gelar Depati Galang Cahayo Negri, wawancara pribadi, Kumun 13 Mei 2013, jam 9.30 WIB pagi. Hal ini, juga pernah disampaikan oleh H. Taharuddin gelar Depati Sempurno Cahayo Bumi Putih (mantan ketua Lembaga Kekerapatan Adat depati IV Kumun Debai 2006-2012) di kediaman beliau pada tahun 20011. 
                [15] Iskandar Zakaria, Tambo Sakti Alam Kerinci, Dinas P dan K Kerinci, 1984, hal. 45.

0 komentar:

Posting Komentar