Rabu, 24 Juni 2015

HUBUNGAN HISTORIS DAN PERTAUAN BUDAYA ALAM KERINCI DENGAN ALAM MINANGKABAU

HUBUNGAN HISTORIS DAN PERTAUAN BUDAYA
ALAM KERINCI DENGAN ALAM MINANGKABAU
            Alam Kerinci[1] merupakan, salah satu wilayah yang berada di pedalaman Sumatera dan dikelilingi bukit barisan yang membentang di bagian barat dan timur. Selain itu, wilayah ini pada masa dahulu berada di tengah-tengah dua wilayah besar yang sangat berpengaruh dalam sejarah pantai barat dan timur Sumatera, yaitu Negeri Jambi dan Alam Minangkabau. Sebagai negeri jiran dari wilayah Alam Kerinci, tentulah kedua wilayah tersebut memiliki hubungan dan kedekatan dengan wilayah Alam Kerinci.                                      
            Sementara itu, ada yang bependapat bahwa wilayah Alam Kerinci sudah jelas memiliki hubungan dengan Negeri Jambi, karena Alam Kerinci merupakan bagian dari Jambi, yakni termasuk wilayah Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Begitu juga halnya dengan Alam Minangkabau, dimana wilayah Alam Kerinci termasuk wilayah Alam Minangkabau tepat wilayah rantau Alam Minangkabau, seperti yang dikabarkan dalam Tambo Minangkabau.[2] Walaupun demikian adanya, wilayah Alam Kerinci tetap berdiri sendiri dibawah kepemimpinan para depati[3].
            Sejauh ini, banyak para pakar yang dominan memasukkan wilayah Alam Kerinci kedalam bagian dari Alam Minangkabau, salah satunya adalah C.W. Watson[4]. Ia memasukkan tulisan tentang Islamitation in Kerinci dalam kumpulan tulisan yang berkaitan dan membahas Minangkabau secara lansung, yaitu pada bagian kedua tentang The Rantau, Islam, Political History And Ideology dalam buku yang berjudul Change and Continuity In Minangkabau: Local, Regional dan Historical Perspectives on West Sumatera.[5] Dalam hal ini, seolah-olah Watson menyatakan bahwa, Kerinci adalah bagian dari Alam Minangkabau.                   
            Jika semua ini benar, mustahil pihak Kerajaan Indrapura yang termasuk wilayah Alam Minangkabau yang dikenal dengan ujung tanah Pagaruyung, serambi alam Minangkabau tidak mengetahui bahwa di balik bukit barisan yang membentang di Indrapura terdapat wilayah yang bernama Kerinci pada awalnya. Pihak Kerajaan Indrapura baru mengetahui bahwa, ada wilayah di balik bukit barisan tersebut, setelah adanya kunjungan Raja Bakilat dari Alam Kerinci.[6] Sejak itulah wilayah Alam Kerinci menjalin hubungan dengan Indrapura khususnya dan Alam Minangkabau umumnya.
            Bukti lain yang menunjukkan wilayah Alam Kerinci tidak takluk ke wilayah Alam Minangkabau, dalam artian tidak termasuk wilayah Alam Minangkabau dapat dilihat dari pemimpin adatnya. Jika di Alam Minangkabau pemimpin adatnya terdiri dari datuak, manti, malin dan lain-lain.[7] Namun, lain halnya dengan wilayah Alam Kerinci yang pemimpinan adatnya terdiri dari depati dan mangku beserta kembar rekannya. Tidaklah mungkin jika, sebuah wilayah yang berada dalam satu kebuadayaan dan adat memiliki nama pemimpin adatnya yang sangat berbeda secara signifikan tanpa ada kesamaan sedikitpun.
            Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat diketahui bagaimana sebenarnya yang terjadi  antara kedua wilayah tersebut. Namun, terlepas dari semua itu tidak dapat dipungkiri bahwa, antara Alam Kerinci dan Alam Minangkabau memiliki hubungan yang erat dimasa lampau dalam perjalanan sejarah dan pertautan budaya. Salah satu bukti dari hubungan tersebut, terlihat dari banyaknya surat-surat dari pihak Kesultanan Indrapura (Alam Minangkabau) terdapat di wilayah Alam Kerinci. Selain itu, pemimpin wilayah Alam Kerinci pernah melakukan beberapa kali perjanjian dengan berbagai momen dan tujuan dengan pemimpin Alam Minangkabau yang diadakan di bukit perbatasan kedua wilayah tersebut. Jadi, sudah jelas bahwa wilayah ini tidak bersatu, akan tetapi kedua wilayah ini memiliki hubungan, mugkin itu dari segi latar belakang historis maupun sosial budaya. 
Wilayah Alam Kerinci Selayang Pandang   
            Alam Kerinci  merupakan, salah satu wilayah kecil di Nusantara yang berada di pedalaman Sumatera bagian tengah dan dikelilingi bukit barisan yang membentang di bagian barat dan timur wilayah tersebut. Kata Kerinci, juga merujuk untuk nama salah satu suku diantara banyak suku di Nusantara. Tepatnya sebutan bagi masyarakat yang mendiami wilayah Alam Kerinci, sukunya disebut Suku Kerinci, danaunya disebut Danau Kerinci, gunungnya disebut Gunung Kerinci, adat istiadatnya disebut Adat Kerinci dan orangnya disebut Orang Kerinci (Uhang Kincai dalam bahasa Kerinci dan Urang Kurinci dalam bahasa Minangkabau). Suku ini hidup atau bermukim di sekitar bukit barisan yang membentang di wilayah tersebut.
            Berbicara tentang Alam Kerinci, maka kita akan ingat dengan wilayah Alam Kerinci, dimana Alam Kerinci yang dimaksud bukanlah Kerinci pada saat ini. Alam Kerinci tidak hanya terbatas pada kabupaten Kerinci dan kota Sungai Penuh saja, melainkan wilayah atau alam yang membujur sampai ke wilayah Sarolangun kabupaten Merangin sekarang yang juga berada dalam kawasan Provinsi Jambi. Wilayah Alam Kerinci pada masa dahulu berada di antara beberapa kerajaan/kesultanan yang berpengaruh terhadap wilayah Alam Kerinci. Kerajaan/kesultanan yang dimaksud adalah Kerajaan/Kesultanan Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, Indrapura di Minangkabau, Muko-muko di Bengkulu dan Kerajaan Sungai Pagu di Minangkabau.
            Alam Kerinci terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah. Wilayah Kerinci Tingi meliputi, sejak Temiai melntuk mudik, Siulak melentuk hilir, yaitu wilayah kabupaten Kerinci dan kota Sungai Penuh sekarang. Sedangkan wilayah Kerinci Rendah meliputi, sejak penetai pematang putus terus ke Tanah Abang Muara Mesumai, sekarang wilayah ini adalah kabupaten Merangin (Bangko).
            Adapun wilayah dan batas-batas wilayah Kerinci lama atau Alam Kerinci pada masa dahulu sebagai berikut :
Kerinci Tinggi (kabupaten Kerinci termasuk wilayah kota Sungai Penuh sekarang).
Mudik (Utara) : Dari gunung Patah Sembilan, terus ke kaki gunung Bujang, tersiku gunung Merapai, terus keranah Pantai Cermin, terus ke gunung Gedang Hulu Talao, berbatas dengan Tuanku Berjanggut Merah  Bertulang Abang yang diam di lekuk Sungai Pagu berair terjun.
Hilir (Selatan) : Penetai pematang putus, takulok kucindan lepas.
Lajung (Barat) : Dari sungai Rotan, terus ke sungai Ligo berbunyi Kuau (Sako Kecil), terus ke gunung Sako, terus ke batu Sigar Kambing, terus ke gunung Bungkuk, terus ke gunung Patah Sembilan, batas daerah Indrapura.
Lembak (Timur) : Temiai melentuk mudik, dari gunung Gadang Hulu Talao, terus ke Betung Belarik, batas daerah Indrapura.
Kerinci Rendah (kabupaten Sarolangun Bangko sekarang)
            Dari Tanah Renah Tanah Abang, Pulau Rengas Batang Asai, Sungai           Manau sampai ke Pangkalan Jambi.[8]
Itulah wilayah Alam Kerinci dan batas-batasnya pada masa dahulu yang hanya bertahan sampai masa kekuasaan Belanda di Alam Kerinci.  
            Masyarakat Alam Kerinci hidup dengan damai dan sejahtera, pada masa kepemimpinan adat (depati). Masyarakat ini pada awalnya hidup atau tinggal di rumah pusako keluarganya, yakni di rumah larik, bagaikan kereta api yang tersusun rapi. Rumah ini ditempati oleh beberapa keluarga yang seperut, sekalbu atau satu keturunan menurut garis kekeluargaan dari pihak ibu.
            Pemerintahan depati ini, terdiri dari pertama Depati VII Helai Kain, yaitu Depati IV Helai Kain yang berkedudukan di Kerinci Tinggi dan Depati III Helai Kain berkedudukan di Kerinci Rendah, kedua Depati VIII Helai Kain, yaitu empat di hilir dan emapat di mudik atau yang sering disebut dengan “tiga dihilir satu ditanah Rawang tiga di mudik satu di tanah Rawang”.[9] Selain itu, juga terdapat depati-depati otonom atau yang berdiri sendiri yang lazim disebut “depati ngan berkain tunggal dibawah payung ngan sakaki, tanah ngan sabingkeh slak dan piagam ngan sapucuk”.
            Sebuah keluarga akan dipimpin oleh teganai atau mamak rumah dari keluarga tersebut yang nanti menjadi cikal bakal ninik mamak (pemangku) dan depati. Dimana wilayah Alam Kerinci memiliki banyak depati dan setiap keluarga besar yang satu kalbu dipimpin oleh Ninik Mamak, setiap luhah akan dipimpin oleh seorang Depati beserta Kembar Rekannya.[10] Gelar adat atau sko turun menurut garis keturunan yankni ditarik dari garis keturunan pihak ibu (Matrilinial).
            Ketiga lembaga kepemimpinan adat tersebut telah ditentukan tugasnya. Apabila suatu masalah tidak selesai oleh teganai, maka naik ke tingkat ninik mamak, jika tidak putus oleh ninik mamak naik ke tingkat depati. Pada tingkatan ini perkara mutlak harus putus dan terselesaikan, dalam istilah adat disebut mengurai yang kusut dan menjernihkan yang keruh, memenggal putus memakan habis dan membunuh mati. Semua keputusan pada jenjang ini tidak boleh dibantah oleh siapapun.
            Kesejahteran kehidupan masyarakat ini juga didukung dengan kebutuhan hidup yang tersedia, dimana masyarakat ini mayoritas sebagai petani (bersawah dan berladang). Masyarakat ini biasanya, bergiliran bersawah dengan keluarga seperut maupun sekalbu yang disebut dengan sebutan nyawak. Sistem kerja masyarakat setempat bersawah dengan bergotong royang, saling membantu dengan cara bergiliran  atau yang lazim disebut dengan mpo atau bampok. Apabila panen telah usai, hasil panen di simpan di dalam bilik atau lumbung padi.
            Sementara itu, hutan di wilayah ini juga mengahasilkan kemenyan berkualitas dari pohon damar[11] dan kulit manis (cassiavera). Selain itu, pertambanganpun cukup mendukung ekonomi wilayah ini. Hal ini dikarenakan wilayah ini sebagai penghasil emas terbaik yang menjadi incaran bagsa Eropa pada paruh kedua abad ke-17 M.[12] Jadi wilayah ini dapat dikatakan wilayah yang sangat berpotensi sekali dari sektor perekonomian, sehingga dengan demikian masyarakat setempat hidup sejahtera.
Sekilas Tentang Alam Minangkabau
            Minangkabau terletak di sekitar dataran tinggi yang terbentang di antara bukit barisan bahagian tengah yang membujur dari utara ke selatan Sumatera yang dilingkari oleh tiga buah gunung yaitu Merapi, Singgalang dan Sago. Wilayah ini, didiami oleh salah satu kelompok etnis di Indonesia yang lazim disebut suku minang.[13] Sebagian besar wilayah Alam Minangkabau dulunya, merupakan wilayah Sumatera Barat saat sekarang ini.
            Alam Minangkabau pada masa dahulu identik dengan Sumatera Barat saat sekarang ini, namun bukan bearti bahwa Sumatera Barat adalah Alam Minangkabau. Sumatera Barat hanya terbatas pada wilayah administratif yang diatur oleh UU Negara Republik Indonesia no. 22 tahun 1999, sedangkan Alam Minangkabau merupakan wilayah yang terbentang dari sikilang aia bangih, hinggo taratak aia hitam, dari sialang balantak basi, sampai kadurian ditakuak rajo.[14] Jadi, Kepulauan Mentawai tidak termasuk dalam bagian dari Alam Minangkabau, namun Kepulauan Mentawai termasuk kedalam wilayah Provinsi Sumatera Barat.
            Wilayah Alam Minangkabau terbagi atas dua bagian, yaitu wilayah darek wilayah rantau, wilayah pesisir. Wilayah darek, yaitu wilayah yang dikenal dengan sebutan luhak nan tigo yang terdiri dari Luhak Tanah datar, Luhak Agam dan Luhak 50 Kota. Kawasan darek ini terletak di dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan Sumatera Barat. Sedangkan wilayah rantau, terdiri dari Kampar, Kapur IX, Ulak Koto Nan Anam, V Koto Bangkinang, Rantau XII Koto, Rantau Kuantan, Batang Hari dan Negeri Sembilan. Sementara itu, Pesisir Pasaman dan  Pesisir Pariaman, wilayah ini terletak di laut atau sepanjang pantai barat Sumatera.[15]
            Masyarakat Alam Minangkabau hidup damai dan sejahtera dibawah pimpinan kaum adat yaitu, para ninik mamak dan pemangku adat yang terdiri dari penghulu, manti, malin dan dubalang. Walaupun di wilayah ini terdapat kerajaan besar, yaitu Kerajaan Minangkabauni menjadi urusan ninik mamak kaum/sukunya masing-masing. Jadi, posisi raja hanya sebagai simbolis, karena setiap nagari berdiri. Setiap nagari diperintahi oleh sebuah dewan penghulu yang dinamakan kerapatan penghulu. Di samping itu, setiap penghulu memerintah anak kemenakannya di lingkungan sukunya sendiri. Sebagai kepala suku dia diangkat untuk seumur hidup oleh anak kemenakannya dan bertanggung jawab hanya kepada mereka dan tidak kepada orang lain.[16]
            Masyarakat ini tinggal di nagari (jorong dan kampong) di rumah-rumah pusako/kaumnya yang dipimpin oleh mamak rumah. Walaupun seorang mamak tidak tinggal ditempat terebut, tetapi semua urusan atau masalah diselesaikan oleh mamak tersebut, seperti atap rumah ketirisan, dapur tidak berasap dan lain-lain. Jadi, selaku mamak tidak hanya mengurus anak-anaknya, akan tetapi juga mengurus keberlansungan hidup kemenakannya.
            Kesejahteraan kehidupan masyarakat Alam Minangkabau karena perdagangan dan limpahan kekayaan. Menurut Dobbin masyarakat Minangkabau mengalami peningkatan kesejahteraan yang cukup drastis pada abad ke-18 M. Hal ini disebabkan  berkembangnya  sektor ekonomi  dan perdagangan dengan pesat.[17]
Selain itu di bagian pedalaman Minangkabau merupakan daerah penghasil lada, kopi dan merica yang diperdagangkan melalui Minangkabau. Ini terjadi dari abad ke 7 sampai dengan abad ke14 Masehi.
            Sementara itu, ada juga masyarakat Alam Minangkabau yang mengundi nasib di negeri lain yang lazim disebut dengan merantau. Merantau dikalangan masyarakat ini telah berlaku sejak zaman awal, sebahagian dari masyarakat Minangkabau telah merantau ke  wilayah  timur  pulau  Sumatera  dan  seterusnya  ke  Semananjung  Tanah  Melayu  terutamanya  ke  Kuala Lumpur. Merantau  bagi masyarakat Minangkabau sangat identic dengan berdagang, telah menjadi tradisi  lumrah  yang  telah  menjadi  sebahagian  dari  budaya masyarakat  Minangkabau.[18] Jadi, meratau telah menjadi pola kehidupan anak nagari di Alam Minangkabau.
Pembahasan
            Hubungan-hubungan Alam Kerinci dengan Alam Minangkabau sudah berlansung lama dalam panggung sejarah. Ini ditandai dengan berbagai bentuk kerjasama, kesamaaan dan interaksi antara kedua wilayah ini diberbagai bidang yang meliputi, ipoleksosbudhankam, yaitu ideology, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan. Hubungan ini terjadi, karena kedua wilayah ini berdekatan atau bertetangga yang menciptakan persahabatan yang harmonis.
            Hubungan kedua wilayah ini dibidang ideology, ditandai dengan adanya sama-sama memakai system adat yang sesuai dengan syarak, lazim disebut adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Hal ini terjadi, sejak pertemuan yang dilakukan di Bukit Anggar Takuluk Tanjung Simelidu yang dihadiri oleh Datuk Perbataih Nan Sebatang dari Minangkabau, Pangeran Temenggung Kabul Dibukit dari Jambi dan para Pemuka Adat dari Alam Kerinci. Kedua wilayah tersebut (Minangkabau dan Jambi) ingin mengembangkan adatnya di Alam Kerinci, tetapi para pemuka adat Alam Kerinci menolaknya.
            Dalam pepatah adat wilayah Alam Kerinci disebut, emas seemas di Alam Kerinci membumbung kelangit, karena turun undang dari Minangkabau balik ke Minangkabau, naik daliti dari Jambi balik ke Jambi. Walaupun demikian adanya, dari ketiga lembaga (adat) tersebut dihimpun menjadi satu oleh pemuka adat Alam Kerinci, karena lembaga tidak jadi kalau tidak dengan undang; undang tidak jadi kalau tidak dengan teliti, meneliti harus dengan adat, yaitu adat yang bersendi syarak.[19] Samapai saat sekarang ini, kedua wilayah ini masih mempertahankan adatnya yang sesuai dengan syarak atau kitabullah dan wmemakai undang-undang yang sama dalam adat, yaitu undang undang duo puluh (undang 12 dan 8 pucuk).
            Hubungan dibidang ekonomi juga terjalin diantara kedua wilayah ini, hal ini terlihat dari interaksi dagang yang terjalin dinatara kedua wilayah tersebut, baik secara non resmi (non formal) maupun resmi (formal). Interaksi dagang secara non resmi, terlihat dari masyarakat Alam Kerinci pada masa dahulu sering sekali berdagang ke sebuah pusat perdagangan di pesisir pantai barat Sumatera, yaitu ke negeri Lunang di Indrapura-Minangkabau. Dalam interaksi dagang ini para pedagang dari Alam Kerinci membawa beras dan hasil hutannya untuk ditukarkan dengan garam dan kain yang didagangkan oleh para pedagang Minangkabau.
            Perdagangan secara resmipun terjadi antara kedua wilayah tersebut, dengan melibatkan pemimpin kedua wilayah ini, yaitu Sultan Kerajaan Indrapura dan depati di Alam Kerinci. Beberapa lembar surat di Alam Kerinci, dari pihak Kesultanan Indrapura untuk para depati di Alam Kerinci agar para pedagang Alam Kerinci meramaikan Bandar Inderapura. Salah satunya, surat yang terdapat di Mendapo Semurup (Raja Kyai Depati Simpan Bumi) yang berbunyi :
            “…….. Karena itu kami suka Raja Dipati Simpan Bumi dengan orang banyak dari Air Aji berniaga bawa barang lagi gading gajah dan lilin dan banyak-banyak tali Kerinci yang putar tiga lain-lain yang boleh dapat dalam negeri Kerinci. Tetapi jangan lupa bawa emas banyak-banyak ke dalam Air Aji,……. “.

Dari isi naskah surat di atas, dapat diketahui bahwa disamping memperdagangkan hasil hutan dan pertanian, wilayah Alam Kerinci juga membawa barang niaga/dagangan berupa hasil pertambangan, yaitu emas. Jadi, dengan adanya hal tersebut di atas, terlihat hubungan diplomatik dibidang perekonomian antara kedua wilayah tersebut.
            Jika ditinjau hubungan kedua wilayah ini dari bidang sosial budaya, maka dapat dilihat dari segi sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan geneologis kedua wilayah ini ditarik secara unilineal descent dari keturunan ibu atau matrilineal.[20] Jadi, kedua wilayah ini memiliki sistem kekerabatan yang sama, walaupun memiliki perbedaan yang agak detail.
            Hubungan kedua wilayah ini sama-sama menganut sistem kekerabatan dari garis ibu akibat latar belakang historis kedua wilayah tersebut, dimana sekitar abad ke-17 M masyarakat Minangkabau banyak berdatangan ke wilayah Alam Kerinci dengan berbagai tujuan, salah satunya untuk merantau yang menjadi pola kehidupan suku Minang tersebut dan akhirnya menetap di wilayah ini. Sehingga lama kelamaan kebudayaan kedua daerah ini, saling melebur antara satu sama lain.
            Sementara itu, hubungan dibidang pertahanan dan keamanan juga terjalin erat antara kedua wilayah ini, itu semua terlihat dari berbagai bentuk kerjasama yang dilakukan dalam mewujudkan keamanan dan pertahanan kedua wilayah dari musuh yang mengancam baik dari dalam maupun dari luar. Berbagai bentuk perjanjian/kerjasama dibidang pertahanan dan keamanan yang terjalin diantara kedua wilayah tersebut diantaranya, pertama kerapat atau perjanjian segitiga yang diadakan di Bukit Setinjau Laut oleh Raja Panjang Zat dari Muaro Mesumai (Bangko) yang bergelar Pangeran Temenggung Kabul Dibukit, Raja Melintang dari Minangkabau yang diwakili oleh Firmansyah gelar Tuanku Hitam Berdarah Putih dari Kerajaan Indrapura dan para depati di Alam Kerinci.
            Kerapatan ini diadakan untuk meningkatkan keamanan dan kesejahteraan dari perampokan dan pembunuhan (samun menyamun), di perbatasan kedua wilayah tersebut. Sejak perjanjian ini dilakukan aman lah kedua wilayah ini dan para pedagang dari Alam Kerinci merasa nyaman dalam perjalanan menuju ke Bandar Indrapura sebagai pusat perdagangan Kerajaan Indrapura.            
            Hubungan yang kedua, yaitu hubungan dalam menentang dan melawan kolonia. Sebagaimana diketahui, bahwa pada abad ke 19 M, Indonesia diduduki bangsa Eropa dengan misi penjajahan, termasuk wilayah pesisir pantai barat Sumatera telah dikuasai Belanda. Dalam hal ini, depati Alam Kerinci membantu pihak Kesultanan Indrapura dalam melumpuhkan penjajah Belanda.
            Sebuah naskah di wilayah Alam Kerinci, merekam tentang kerjasama ini, naskah yang dimaksud adalah sebuah naskah di Mendapo Kemantan (Depati Rajo Mudo) yang berbunyi:
            “…….. Dengan takdir Allah ta’ala maka datanglah perang, jadi selisih di antara Yang Dipertuan Sultan Permansyah dengan Kempani Walanda (Belanda). Telah sampailah tiga tahuan berperang itu, maka Yang Dipertuan Sultan Permansyah undurlah ke Batayan pada kampung yang empat langgam, serta Yang Dipertuan pun teringatlah akan sumpah setia yang diperbuat nenek moyang di atas Bukit Tinjau Laut. Maka menyurulah Yang Dipertuan ke Kerinci. Setelah itu maka turunlah Raja Muda itu duduk pada negeri Inderapura sembilan bulan sebelas hari pada tanah Batayan kampung yang empat langgam. Dengan takdir Allah ta’ala berhentilah peperangan itu dan amanlah negeri. ……”   
   
Dari isi naskah di atas, terlihat usaha yang dilakukan oleh Raja Muda dalam membantu pihak Kerajaan Indrapura untuk melawan para penjajah dan hasilnya amanlah negeri tersebut.      
            Hubungan yang ketiga, terlihat dari pertahanan yang dilakukan oleh pihak Kerajaan Indrapura untuk mempertahankan wilayah Alam Kerinci dari sentuhan Belanda. Hal ini, terlihat dari pesan dari Tuanku Sultan Mohammad Bakhi gelar Sultan Firmansyah kepada menantunya Tuanku Rusli, dihadapan Penghulu Mantri 20 dan Mangkubumi Kabat gelar Maha Rajo Iddin. Pesan tersebut berbunyi:
            Hai Rusli jika kamu diangkat Belanda jadi ganti aku, Alam Kerinci jangan kamu tunjukkan pada Belanda. Umurku tiada beberapa hari lagi, ingatlah peasanku itu, walaupun apa yang terjadi jangan ditunjukkan Alam Kerinci itu.[21]
Pesan di atas, menunjukkan hal yang dilakukan oleh pihak Kerajaan Indrapura untuk menjauhkan wilayah Alam Kerinci dari pengetahuan dan ancaman dari Belanda. Walaupun akhirnya, wilayah Alam Kerinci berhasil ditemukan dan dikuasai oleh Belanda setelah dibantui oleh Tuanku Rusli yang melanggar amanat dari Regent Indrapura sebelumnya yang tidak lain ialah mertuanya sendiri. Akan tetapi, pihak Kesultanan Indrapura (Mohammad Bakhi) telah menghambat dan menyembunyikan wilayah Alam Kerinci dari pengetahuan Belanda bertahun-tahun lamanya, semenjak awal menduduki Indrapura sampai tahun 1902.
            Disamping hubungan dibidang ipoleksosbudhankam di atas, masih banyak  hubungan Alam Kerinci dengan negeri jirannya tersebut. Kedua wilayah ini beberapa kali menjalin hubungan darah melalui ikatan perkawinan, seperti halnya Mangku Sukarami Tuo menikah dengan putri Kesultanan Indrapura. Hal ini terlihat dari adanya mangku yang bergelar Mangku Sukarami Bandar Indrapura, gelar ini pertama kali disandang oleh anak Mangku Sukarami Tuo dengan Putri Kerajaan Indrapura yang diambil dari gelar Mangku Sukarami dan nama wilayah tempat tinggalnya, yaitu Bandar Indrapura.[22]
            Sementara itu, Islampun dibawa dan ikut dikenalkan oleh para ulama atau siak (syekh) dari Minangkabau ke wilayah Alam Kerinci, kedatangan mereka  dijelaskan dalam sebuah naskah di wilayah Alam Kerinci yang berbunyi :
“Sebermula datang dari darat alam Minangkabau luak tanah Padang Ganting, anak cucu tuan Kadli Padang Ganting empat orang seperadik, yaitu: (1). Siak lengih. (2). Siak Malindo. (3). Siak Bagindo Siak. (4). Siak Ulas. Adapun Siak Ulas lalu ke batang Ulas wafat di situ dan Siak Bagindo Siak lalu ke Gunung Karang hulu Tapan wafat di situ berkubur di tanah tebing tanah runtuh di bawah pohon kayu menang, dan Siak Malindo lalu ke Gunung Tunggal Pengasi wafat di situ dan Siak Lengih lalu ke renah Emir Biru disebutkan orang sekarang Koto Pandan”.[23]
Jika benar hal ini terjadi, maka terlihat hubungan Alam Kerinci dengan Minangkabu khususnya pihak basa ampek balai, dalam pengislaman masyarakat Alam Kerinci. Hubungan basa ampek balai dengan Alam Kerinci dalam menyiarkan dan mengembangkan ajaran Islam, merupakan salah satu tugas dan usaha dari Tuan   Kadi  di   Padang   Ganting   yang  membidangi   urusan   keagamaan.   
            Itulah serangkaian hubungan, antara wilayah Alam Kerinci dengan Alam Minangkabau dalam sejarah dan budaya yang membuat orang beranggapan bahwa wilayah Alam Kerinci itu satu dan bagian dari Alam Minangkabau. Anggapan tersebut hanyalah anggapan fiktif belaka, karena wilayah Alam Kerinci tidak termasuk ke dalam kekuasaan Alam Minangkabau, namun hanya sebatas negeri jiran yang memiliki hubungan yang sangat erat dan harmonis.
Penutup  
            Kerjasama dan perjanjian serta kesamaan anatara Alam Kerinci dengan Alam Minangkabau menunjukkan adanya hubungan kedua wilayah ini dalam historis dan pertauan budaya. Kedekatan dan kesamaaan kedua wilayah ini, menciptakan hubungan-hubungan yang dekat dan harmonis dan turut mempengaruhi wacana yang mengutarakan bahwa Alam Kerinci adalah bagian dari Alam Minangkabau. Hubungan kedua wilayah ini menunjukkan bukti yang kuat bahwa, wilayah Alam Kerinci hanya sebatas berhubungan dekat dengan Alam Minangkabau, tidak lebih dari itu, apalagi menjadi bagaian dari Alam Minangkabau. Meskipun demikian, sangat banyak persamaan dan hubungan yang menunjukkan bahwa wilayaah ini satu kesatuan. Untuk itu, perlu kajian selanjutnya untuk membuka tabir misteri dibalik hubungan antara Alam Kerinci dengan Alam Minangkabau.



Endnote:
                [1] Alam Kerinci yang sekarang lazim disebut kerinci adalah salah satu wilayah yang berada di provinsi Jambi sekarang, penyebutan wilayah ini dalam berbagai literature ditulis berbeda-beda, seperti Kerinci (Indonesia), Krinci (Bengkulu), Kurinci (Minangkabau), Korintji (Belanda) dan Korinchi (Inggris).
                [2] Zulfahmi, Lintasan Budaya dan Adat Minangkabau, Jakarta: PT. Kartika Insan Lestari, 2003, hal. 14
                [3] Kata depati berasal dari bahasa Jawa, yaitu  adipati, suatu jabatan dalam pemerintahan adat suku Jawa, sedangkan Depati dipakai sebagai sebutan untuk pemimpin atau kepala adat dalam masyarakat di Alam Kerinci.
                [4] C. W. (Bill) Watson mengajar Ilmu antropologi pada Universitas Kent di Canterbury. Ia pernah melakukan program penelitian di Indonesia selama beberapa tahun. Ia juga telah menerbitkan buku dengan Roy F. Ellen tentang Understanding Witchcraft and Sorcery in Southeast Asia ( 1994) dan ia adalah penulis Kinship, Property and Inheritance in Kerinci, Central Sumatra (1994).
                [5] Lynn L. Thomas dan franz Von Benda-Beckmann (ed) Change And Continuity In Minangkabau, Ohio University, 1985, hal. 172
                [6] Lihat Naskah Surat akan jadi ingatan Kiai Dipati Raja Muda. Wakatibuhu Paduka Seri Sultan Muhammad Syah Johan Berdaulat Zille illahi fi’l’alam, dalam P. Voerhoeve (taalambtenaar t.b.v.d Gouveneu van Sumatra), Tambo Kerinci, Leiden, 1941. 
                [7] Zulfahmi, Op cit., hal. 49-50.
                [8]Iskandar Zakaria. Tambo Sakti Alam Kerinci, Kerinci: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984, hal. 27-28.
                9 Lihat Iskandar Zakaria, Op cit., hal. 20-23.
                [10] Eka Putra, Adat Budaya Kerinci, [t.p], 44   
                [11] Mc Kinnon, E. Edwards, 1992, hal. 7, dalam Iddris Djakfar, op. cit., hal. 10
                [12] Lihat C. W. Watson berjudul Kinship, Property and Inheritance in Kerinci, Central Sumatera (bab I thesis). Di akses melalui situs http://lucy.ukc.ac.uk/csacpub/watson/contents.html, pada hari minggu 10 Februari jam 9. 30 pagi.
                [13] Adrianus Khatib, Kaum Padri Dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau, (Disertasi, 1991), hal. 38-39
                [14] Zulfahmi, Op cit., hal 11-16.
                [15] Ibid., hal. 17-30.
                [16] Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1973, hal. 64
                [17] Irhash A. Shamad, Danil M.Chaniago, Islam Dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau, Jakarta: PT. Tintamas, 2007,  hal. 62
                [18] Nelmawarni Bungo dan Nordin Hussin, Merantau ke Kuala Lumpur: Tradisi merantau dan berdagang masyarakat Minangkabau, dalam GEOGRAFIA OnlineTM Malaysian Journal of Society and Space 7, 2011, hal. 117
                [19] Iskandar Zakaria, Op cit., hal. 19
                [20] Maba-Yoruk, Muslim Peoples A World Ethnographic Survey, London: Aldwych Press, 1994,  hal. 473
                [21] Yulizal Yunus, dkk., Kesultanan Indrapura dan Mandeh Rubiah di Lunang Spirit Sejarah Dari Kerajaan Bahari Hingga Semangat Melayu Dunia, Padang: IAIN IB Press, 2002, hal. 110
                [22] M. Jaiz Mangku Suka Rami Hitam Tuo, wawancara pribadi, Rawang  01 Mei 20013, jam  10.00 WIB pagi.
                [23] Voerhove, Op cit., dalam Deki Syaputra. ZE, Islamisasi di Wilayah Alam Kerinci (Studi Terhadap Naskah Surat dan Piagam), Skripsi Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIN Imam Bonjol Padang, 2013, hal. 110.


Daftar Pustaka
Zulfahmi, Lintasan Budaya dan Adat Minangkabau, Jakarta: PT. Kartika Insan      Lestari, 2003
Thomas L. Lynn dan Benda-Beckmann Von  Franz (ed) Change And Continuity   In Minangkabau, Ohio University, 1985
Voerhoeve (taalambtenaar t.b.v.d Gouveneu van Sumatra), Tambo Kerinci,            Leiden, 1941.
Adrianus Khatib, Kaum Padri Dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau,            (Disertasi, 1991)
Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, (Yogyakarta: Gadjah   Mada University Press,1973)
Irhash A. Shamad, Danil M.Chaniago, Islam Dan Praksis Kultural Masyarakat       Minangkabau, Jakarta: PT. Tintamas, 2007
            Maba-Yoruk, Muslim Peoples A World Ethnographic Survey, London: Aldwych Press, 1994
            Yulizal Yunus, dkk., Kesultanan Indrapura dan Mandeh Rubiah di Lunang Spirit Sejarah Dari Kerajaan Bahari Hingga Semangat Melayu Dunia, Padang:     IAIN IB Press, 2002
Deki Syaputra. ZE, Islamisasi di Wilayah Alam Kerinci (Studi Terhadap Naskah    Surat dan Piagam), Skripsi Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam         Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIN Imam Bonjol Padang, 2013
C. W. Watson, Kinship, Property and Inheritance in Kerinci, Central Sumatera       (bab I thesis) di http://lucy.ukc.ac.uk/csacpub/watson/contents.html, pada     hari minggu 10 Februari jam 9. 30 pagi.
M. Jaiz Mangku Suka Rami Hitam Tuo, wawancara pribadi, Rawang  01 Mei         2013, jam  10.00 WIB pagi.
Nelmawarni Bungo dan Nordin Hussin, Merantau ke Kuala Lumpur: Tradisi          merantau dan berdagang masyarakat Minangkabau, dalam GEOGRAFIA       OnlineTM Malaysian Journal of Society and Space 7, 2011

0 komentar:

Posting Komentar