HUBUNGAN
HISTORIS DAN PERTAUAN BUDAYA
ALAM KERINCI DENGAN ALAM MINANGKABAU
Alam Kerinci[1]
merupakan, salah satu wilayah yang berada di pedalaman Sumatera dan dikelilingi
bukit barisan yang membentang di bagian barat dan timur. Selain itu, wilayah
ini pada masa dahulu berada di tengah-tengah dua wilayah besar yang sangat
berpengaruh dalam sejarah pantai barat dan timur Sumatera, yaitu Negeri Jambi
dan Alam Minangkabau. Sebagai negeri jiran dari wilayah Alam Kerinci,
tentulah kedua wilayah tersebut memiliki hubungan dan kedekatan dengan wilayah
Alam Kerinci.
Sementara itu, ada yang bependapat
bahwa wilayah Alam Kerinci sudah jelas memiliki hubungan dengan Negeri Jambi,
karena Alam Kerinci merupakan bagian dari Jambi, yakni termasuk wilayah Sepucuk
Jambi Sembilan Lurah. Begitu juga halnya dengan Alam Minangkabau, dimana
wilayah Alam Kerinci termasuk wilayah Alam Minangkabau tepat wilayah rantau Alam
Minangkabau, seperti yang dikabarkan dalam Tambo Minangkabau.[2]
Walaupun demikian adanya, wilayah Alam Kerinci tetap berdiri sendiri dibawah
kepemimpinan para depati[3].
Sejauh ini, banyak para pakar yang
dominan memasukkan wilayah Alam Kerinci kedalam bagian dari Alam Minangkabau, salah
satunya adalah C.W. Watson[4].
Ia memasukkan tulisan tentang Islamitation in Kerinci dalam kumpulan
tulisan yang berkaitan dan membahas Minangkabau secara lansung, yaitu pada
bagian kedua tentang The Rantau, Islam, Political History And Ideology dalam
buku yang berjudul Change and Continuity In Minangkabau: Local, Regional dan
Historical Perspectives on West Sumatera.[5]
Dalam hal ini, seolah-olah Watson menyatakan bahwa, Kerinci adalah bagian dari Alam
Minangkabau.
Jika semua ini benar, mustahil pihak
Kerajaan Indrapura yang termasuk wilayah Alam Minangkabau yang dikenal dengan ujung
tanah Pagaruyung, serambi alam Minangkabau tidak mengetahui bahwa di balik
bukit barisan yang membentang di Indrapura terdapat wilayah yang bernama
Kerinci pada awalnya. Pihak Kerajaan Indrapura baru mengetahui bahwa, ada
wilayah di balik bukit barisan tersebut, setelah adanya kunjungan Raja Bakilat
dari Alam Kerinci.[6]
Sejak itulah wilayah Alam Kerinci menjalin hubungan dengan Indrapura khususnya
dan Alam Minangkabau umumnya.
Bukti lain yang menunjukkan wilayah
Alam Kerinci tidak takluk ke wilayah Alam Minangkabau, dalam artian tidak
termasuk wilayah Alam Minangkabau dapat dilihat dari pemimpin adatnya. Jika di
Alam Minangkabau pemimpin adatnya terdiri dari datuak, manti, malin dan
lain-lain.[7]
Namun, lain halnya dengan wilayah Alam Kerinci yang pemimpinan adatnya terdiri
dari depati dan mangku beserta kembar rekannya. Tidaklah
mungkin jika, sebuah wilayah yang berada dalam satu kebuadayaan dan adat
memiliki nama pemimpin adatnya yang sangat berbeda secara signifikan tanpa ada
kesamaan sedikitpun.
Dari penjelasan-penjelasan di atas,
dapat diketahui bagaimana sebenarnya yang terjadi antara kedua wilayah tersebut. Namun,
terlepas dari semua itu tidak dapat dipungkiri bahwa, antara Alam Kerinci dan
Alam Minangkabau memiliki hubungan yang erat dimasa lampau dalam perjalanan
sejarah dan pertautan budaya. Salah satu bukti dari hubungan tersebut, terlihat
dari banyaknya surat-surat dari pihak Kesultanan Indrapura (Alam Minangkabau)
terdapat di wilayah Alam Kerinci. Selain itu, pemimpin wilayah Alam Kerinci
pernah melakukan beberapa kali perjanjian dengan berbagai momen dan tujuan
dengan pemimpin Alam Minangkabau yang diadakan di bukit perbatasan kedua
wilayah tersebut. Jadi, sudah jelas bahwa wilayah ini tidak bersatu, akan
tetapi kedua wilayah ini memiliki hubungan, mugkin itu dari segi latar belakang
historis maupun sosial budaya.
Wilayah
Alam Kerinci Selayang Pandang
Alam Kerinci merupakan, salah satu wilayah kecil di
Nusantara yang berada di pedalaman Sumatera bagian tengah dan dikelilingi bukit
barisan yang membentang di bagian barat dan timur wilayah tersebut. Kata
Kerinci, juga merujuk untuk nama salah satu suku diantara banyak suku di
Nusantara. Tepatnya sebutan bagi masyarakat yang mendiami wilayah Alam Kerinci,
sukunya disebut Suku Kerinci, danaunya disebut Danau Kerinci, gunungnya disebut
Gunung Kerinci, adat istiadatnya disebut Adat Kerinci dan orangnya disebut
Orang Kerinci (Uhang Kincai dalam bahasa Kerinci dan Urang Kurinci dalam bahasa
Minangkabau). Suku ini hidup atau bermukim di sekitar bukit barisan yang membentang
di wilayah tersebut.
Berbicara tentang
Alam Kerinci, maka kita akan ingat dengan wilayah Alam Kerinci, dimana Alam
Kerinci yang dimaksud bukanlah Kerinci pada saat ini. Alam Kerinci tidak hanya
terbatas pada kabupaten Kerinci dan kota Sungai Penuh saja, melainkan wilayah
atau alam yang membujur sampai ke wilayah Sarolangun kabupaten Merangin sekarang
yang juga berada dalam kawasan Provinsi Jambi. Wilayah Alam
Kerinci pada masa dahulu berada di antara beberapa kerajaan/kesultanan yang
berpengaruh terhadap wilayah Alam Kerinci. Kerajaan/kesultanan yang dimaksud
adalah Kerajaan/Kesultanan Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, Indrapura di
Minangkabau, Muko-muko di Bengkulu dan Kerajaan Sungai Pagu di Minangkabau.
Alam
Kerinci terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah.
Wilayah Kerinci Tingi meliputi, sejak
Temiai melntuk mudik, Siulak melentuk hilir, yaitu wilayah kabupaten
Kerinci dan kota Sungai Penuh sekarang. Sedangkan wilayah Kerinci Rendah
meliputi, sejak penetai pematang putus terus ke Tanah Abang Muara Mesumai,
sekarang wilayah ini adalah kabupaten Merangin (Bangko).
Adapun
wilayah dan batas-batas wilayah Kerinci lama atau Alam Kerinci pada masa dahulu
sebagai berikut :
Kerinci Tinggi (kabupaten Kerinci termasuk wilayah kota Sungai
Penuh sekarang).
Mudik (Utara) : Dari gunung Patah Sembilan, terus ke kaki gunung
Bujang, tersiku gunung Merapai, terus keranah Pantai Cermin, terus ke gunung
Gedang Hulu Talao, berbatas dengan Tuanku Berjanggut Merah Bertulang Abang yang diam di lekuk Sungai
Pagu berair terjun.
Hilir (Selatan) : Penetai pematang putus, takulok kucindan lepas.
Lajung (Barat) : Dari sungai Rotan, terus ke sungai Ligo berbunyi
Kuau (Sako Kecil), terus ke gunung Sako, terus ke batu Sigar Kambing, terus ke
gunung Bungkuk, terus ke gunung Patah Sembilan, batas daerah Indrapura.
Lembak (Timur) : Temiai melentuk mudik, dari gunung Gadang Hulu
Talao, terus ke Betung Belarik, batas daerah Indrapura.
Kerinci Rendah (kabupaten Sarolangun Bangko sekarang)
Dari Tanah Renah
Tanah Abang, Pulau Rengas Batang Asai, Sungai Manau
sampai ke Pangkalan Jambi.[8]
Itulah wilayah Alam Kerinci dan batas-batasnya pada masa dahulu
yang hanya bertahan sampai masa kekuasaan Belanda di Alam Kerinci.
Masyarakat Alam Kerinci hidup dengan
damai dan sejahtera, pada masa kepemimpinan adat (depati). Masyarakat ini pada awalnya hidup atau tinggal di rumah
pusako keluarganya, yakni di rumah larik,
bagaikan kereta api yang tersusun rapi. Rumah ini ditempati oleh beberapa
keluarga yang seperut, sekalbu atau
satu keturunan menurut garis kekeluargaan dari pihak ibu.
Pemerintahan depati ini, terdiri
dari pertama Depati VII Helai Kain, yaitu Depati
IV Helai Kain yang berkedudukan di Kerinci Tinggi dan Depati III Helai Kain berkedudukan di Kerinci Rendah, kedua Depati VIII Helai Kain, yaitu
empat di hilir dan emapat di mudik atau yang sering disebut dengan “tiga dihilir satu ditanah Rawang tiga di
mudik satu di tanah Rawang”.[9]
Selain itu, juga terdapat depati-depati otonom atau yang berdiri sendiri yang
lazim disebut “depati ngan berkain
tunggal dibawah payung ngan sakaki, tanah ngan sabingkeh slak dan piagam ngan
sapucuk”.
Sebuah
keluarga akan dipimpin oleh teganai
atau mamak rumah dari keluarga
tersebut yang nanti menjadi cikal bakal ninik
mamak (pemangku) dan depati. Dimana wilayah Alam Kerinci memiliki banyak depati dan setiap keluarga besar yang
satu kalbu dipimpin oleh Ninik Mamak, setiap luhah akan dipimpin oleh seorang Depati beserta Kembar
Rekannya.[10] Gelar adat atau sko turun menurut garis keturunan yankni ditarik dari garis
keturunan pihak ibu (Matrilinial).
Ketiga lembaga kepemimpinan adat
tersebut telah ditentukan tugasnya. Apabila suatu masalah tidak selesai oleh teganai, maka naik ke tingkat ninik
mamak, jika tidak putus oleh ninik mamak naik ke tingkat depati.
Pada tingkatan ini perkara mutlak harus putus dan terselesaikan, dalam istilah
adat disebut mengurai yang kusut dan menjernihkan yang keruh, memenggal putus
memakan habis dan membunuh mati. Semua keputusan pada jenjang ini tidak boleh
dibantah oleh siapapun.
Kesejahteran kehidupan masyarakat
ini juga didukung dengan kebutuhan hidup yang tersedia, dimana masyarakat ini
mayoritas sebagai petani (bersawah dan berladang). Masyarakat ini biasanya,
bergiliran bersawah dengan keluarga seperut maupun sekalbu yang disebut dengan
sebutan nyawak. Sistem kerja
masyarakat setempat bersawah dengan bergotong royang, saling membantu dengan
cara bergiliran atau yang lazim disebut
dengan mpo atau bampok. Apabila panen telah usai, hasil panen di simpan di dalam bilik atau lumbung padi.
Sementara itu, hutan di wilayah ini
juga mengahasilkan kemenyan berkualitas dari pohon damar[11]
dan kulit manis (cassiavera). Selain
itu, pertambanganpun cukup mendukung ekonomi wilayah ini. Hal ini dikarenakan wilayah
ini sebagai penghasil emas terbaik yang menjadi incaran bagsa Eropa pada paruh
kedua abad ke-17 M.[12]
Jadi wilayah ini dapat dikatakan wilayah yang sangat berpotensi sekali dari
sektor perekonomian, sehingga dengan demikian masyarakat setempat hidup sejahtera.
Sekilas
Tentang Alam Minangkabau
Minangkabau terletak di sekitar
dataran tinggi yang terbentang di antara bukit barisan bahagian tengah yang
membujur dari utara ke selatan Sumatera yang dilingkari oleh tiga buah gunung
yaitu Merapi, Singgalang dan Sago. Wilayah ini, didiami oleh salah satu
kelompok etnis di Indonesia yang lazim disebut suku minang.[13]
Sebagian besar wilayah Alam Minangkabau dulunya, merupakan wilayah Sumatera
Barat saat sekarang ini.
Alam Minangkabau pada masa dahulu
identik dengan Sumatera Barat saat sekarang ini, namun bukan bearti bahwa
Sumatera Barat adalah Alam Minangkabau. Sumatera Barat hanya terbatas pada
wilayah administratif yang diatur oleh UU Negara Republik Indonesia no. 22
tahun 1999, sedangkan Alam Minangkabau merupakan wilayah yang terbentang dari sikilang
aia bangih, hinggo taratak aia hitam, dari sialang balantak basi, sampai
kadurian ditakuak rajo.[14]
Jadi, Kepulauan Mentawai tidak termasuk dalam bagian dari Alam Minangkabau,
namun Kepulauan Mentawai termasuk kedalam wilayah Provinsi Sumatera Barat.
Wilayah Alam Minangkabau terbagi atas
dua bagian, yaitu wilayah darek wilayah rantau, wilayah pesisir.
Wilayah darek, yaitu wilayah yang dikenal dengan sebutan luhak nan tigo
yang terdiri dari Luhak Tanah datar, Luhak Agam dan Luhak 50 Kota. Kawasan
darek ini terletak di dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan Sumatera Barat.
Sedangkan wilayah rantau, terdiri dari Kampar, Kapur IX, Ulak Koto Nan Anam, V
Koto Bangkinang, Rantau XII Koto, Rantau Kuantan, Batang Hari dan Negeri
Sembilan. Sementara itu, Pesisir Pasaman dan
Pesisir Pariaman, wilayah ini terletak di laut atau sepanjang pantai
barat Sumatera.[15]
Masyarakat Alam Minangkabau hidup
damai dan sejahtera dibawah pimpinan kaum adat yaitu, para ninik mamak dan
pemangku adat yang terdiri dari penghulu, manti, malin dan dubalang.
Walaupun di wilayah ini terdapat kerajaan besar, yaitu Kerajaan Minangkabauni
menjadi urusan ninik mamak kaum/sukunya masing-masing. Jadi, posisi raja hanya
sebagai simbolis, karena setiap nagari berdiri. Setiap nagari diperintahi oleh
sebuah dewan penghulu yang dinamakan kerapatan penghulu. Di samping itu, setiap
penghulu memerintah anak kemenakannya di lingkungan sukunya sendiri. Sebagai
kepala suku dia diangkat untuk seumur hidup oleh anak kemenakannya dan
bertanggung jawab hanya kepada mereka dan tidak kepada orang lain.[16]
Masyarakat ini tinggal di nagari
(jorong dan kampong) di rumah-rumah pusako/kaumnya yang dipimpin oleh mamak
rumah. Walaupun seorang mamak tidak tinggal ditempat terebut, tetapi semua
urusan atau masalah diselesaikan oleh mamak tersebut, seperti atap rumah
ketirisan, dapur tidak berasap dan lain-lain. Jadi, selaku mamak tidak hanya
mengurus anak-anaknya, akan tetapi juga mengurus keberlansungan hidup
kemenakannya.
Kesejahteraan kehidupan masyarakat
Alam Minangkabau karena perdagangan dan limpahan kekayaan. Menurut Dobbin
masyarakat Minangkabau mengalami peningkatan kesejahteraan yang cukup drastis
pada abad ke-18 M. Hal ini disebabkan
berkembangnya sektor ekonomi dan perdagangan dengan pesat.[17]
Selain
itu di bagian pedalaman Minangkabau merupakan daerah penghasil lada, kopi dan
merica yang diperdagangkan melalui Minangkabau. Ini terjadi dari abad ke 7
sampai dengan abad ke14 Masehi.
Sementara itu, ada juga masyarakat
Alam Minangkabau yang mengundi nasib di negeri lain yang lazim disebut dengan merantau.
Merantau dikalangan masyarakat ini telah berlaku sejak zaman awal, sebahagian
dari masyarakat Minangkabau telah merantau ke
wilayah timur pulau
Sumatera dan seterusnya
ke Semananjung Tanah
Melayu terutamanya ke
Kuala Lumpur. Merantau bagi
masyarakat Minangkabau sangat identic dengan berdagang, telah menjadi tradisi lumrah
yang telah menjadi
sebahagian dari budaya masyarakat Minangkabau.[18]
Jadi, meratau telah menjadi pola kehidupan anak nagari di Alam Minangkabau.
Pembahasan
Hubungan-hubungan Alam Kerinci
dengan Alam Minangkabau sudah berlansung lama dalam panggung sejarah. Ini
ditandai dengan berbagai bentuk kerjasama, kesamaaan dan interaksi antara kedua
wilayah ini diberbagai bidang yang meliputi, ipoleksosbudhankam, yaitu
ideology, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan. Hubungan
ini terjadi, karena kedua wilayah ini berdekatan atau bertetangga yang
menciptakan persahabatan yang harmonis.
Hubungan kedua wilayah ini dibidang
ideology, ditandai dengan adanya sama-sama memakai system adat yang sesuai
dengan syarak, lazim disebut adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Hal ini terjadi, sejak pertemuan yang dilakukan di Bukit Anggar Takuluk Tanjung
Simelidu yang dihadiri oleh Datuk Perbataih Nan Sebatang dari Minangkabau,
Pangeran Temenggung Kabul Dibukit dari Jambi dan para Pemuka Adat dari Alam
Kerinci. Kedua wilayah tersebut (Minangkabau dan Jambi) ingin mengembangkan
adatnya di Alam Kerinci, tetapi para pemuka adat Alam Kerinci menolaknya.
Dalam pepatah adat wilayah Alam
Kerinci disebut, emas seemas di Alam Kerinci membumbung kelangit, karena
turun undang dari Minangkabau balik ke Minangkabau, naik
daliti dari Jambi balik ke Jambi. Walaupun demikian adanya, dari ketiga
lembaga (adat) tersebut dihimpun menjadi satu oleh pemuka adat Alam Kerinci, karena
lembaga tidak jadi kalau tidak dengan undang; undang tidak jadi kalau tidak
dengan teliti, meneliti harus dengan adat, yaitu adat yang bersendi syarak.[19]
Samapai saat
sekarang ini, kedua wilayah ini masih mempertahankan adatnya yang sesuai dengan
syarak atau kitabullah dan wmemakai undang-undang yang sama dalam adat, yaitu undang
undang duo puluh (undang 12 dan 8 pucuk).
Hubungan dibidang ekonomi juga
terjalin diantara kedua wilayah ini, hal ini terlihat dari interaksi dagang
yang terjalin dinatara kedua wilayah tersebut, baik secara non resmi (non
formal) maupun resmi (formal). Interaksi dagang secara non resmi, terlihat dari
masyarakat Alam Kerinci pada masa dahulu sering sekali berdagang ke sebuah
pusat perdagangan di pesisir pantai barat Sumatera, yaitu ke negeri Lunang di
Indrapura-Minangkabau. Dalam interaksi dagang ini para pedagang dari Alam
Kerinci membawa beras dan hasil hutannya untuk ditukarkan dengan garam dan kain
yang didagangkan oleh para pedagang Minangkabau.
Perdagangan secara resmipun terjadi
antara kedua wilayah tersebut, dengan melibatkan pemimpin kedua wilayah ini,
yaitu Sultan Kerajaan Indrapura dan depati di Alam Kerinci. Beberapa lembar
surat di Alam Kerinci, dari pihak Kesultanan Indrapura untuk para depati di
Alam Kerinci agar para pedagang Alam Kerinci meramaikan Bandar Inderapura.
Salah satunya, surat yang terdapat di Mendapo Semurup (Raja Kyai Depati Simpan
Bumi) yang berbunyi :
“…….. Karena itu kami suka Raja
Dipati Simpan Bumi dengan orang banyak dari Air Aji berniaga bawa barang lagi
gading gajah dan lilin dan banyak-banyak tali Kerinci yang putar tiga lain-lain
yang boleh dapat dalam negeri Kerinci. Tetapi jangan lupa bawa emas
banyak-banyak ke dalam Air Aji,……. “.
Dari
isi naskah surat di atas, dapat diketahui bahwa disamping memperdagangkan hasil
hutan dan pertanian, wilayah Alam Kerinci juga membawa barang niaga/dagangan
berupa hasil pertambangan, yaitu emas. Jadi, dengan adanya hal tersebut di
atas, terlihat hubungan diplomatik dibidang perekonomian antara kedua wilayah
tersebut.
Jika ditinjau hubungan kedua wilayah
ini dari bidang sosial budaya, maka dapat dilihat dari segi sistem kekerabatan.
Sistem kekerabatan geneologis kedua wilayah ini ditarik secara unilineal
descent dari keturunan ibu atau matrilineal.[20]
Jadi, kedua wilayah ini memiliki sistem kekerabatan yang sama, walaupun
memiliki perbedaan yang agak detail.
Hubungan kedua wilayah ini sama-sama
menganut sistem kekerabatan dari garis ibu akibat latar belakang historis kedua
wilayah tersebut, dimana sekitar abad ke-17 M masyarakat Minangkabau banyak
berdatangan ke wilayah Alam Kerinci dengan berbagai tujuan, salah satunya untuk
merantau yang menjadi pola kehidupan suku Minang tersebut dan akhirnya menetap
di wilayah ini. Sehingga lama kelamaan kebudayaan kedua daerah ini, saling
melebur antara satu sama lain.
Sementara itu, hubungan dibidang
pertahanan dan keamanan juga terjalin erat antara kedua wilayah ini, itu semua
terlihat dari berbagai bentuk kerjasama yang dilakukan dalam mewujudkan
keamanan dan pertahanan kedua wilayah dari musuh yang mengancam baik dari dalam
maupun dari luar. Berbagai bentuk perjanjian/kerjasama dibidang pertahanan dan
keamanan yang terjalin diantara kedua wilayah tersebut diantaranya, pertama
kerapat atau perjanjian segitiga yang diadakan di Bukit Setinjau Laut
oleh Raja Panjang Zat dari Muaro Mesumai (Bangko) yang bergelar Pangeran
Temenggung Kabul Dibukit, Raja Melintang dari Minangkabau yang diwakili oleh
Firmansyah gelar Tuanku Hitam Berdarah Putih dari Kerajaan Indrapura dan para
depati di Alam Kerinci.
Kerapatan ini diadakan untuk
meningkatkan keamanan dan kesejahteraan dari perampokan dan pembunuhan (samun menyamun),
di perbatasan kedua wilayah tersebut. Sejak perjanjian ini dilakukan aman lah
kedua wilayah ini dan para pedagang dari Alam Kerinci merasa nyaman dalam
perjalanan menuju ke Bandar Indrapura sebagai pusat perdagangan Kerajaan
Indrapura.
Hubungan yang kedua, yaitu
hubungan dalam menentang dan melawan kolonia. Sebagaimana diketahui, bahwa pada
abad ke 19 M, Indonesia diduduki bangsa Eropa dengan misi penjajahan, termasuk
wilayah pesisir pantai barat Sumatera telah dikuasai Belanda. Dalam hal ini,
depati Alam Kerinci membantu pihak Kesultanan Indrapura dalam melumpuhkan
penjajah Belanda.
Sebuah naskah di wilayah Alam
Kerinci, merekam tentang kerjasama ini, naskah yang dimaksud adalah sebuah
naskah di Mendapo Kemantan (Depati Rajo Mudo) yang berbunyi:
“…….. Dengan takdir Allah ta’ala
maka datanglah perang, jadi selisih di antara Yang Dipertuan Sultan Permansyah
dengan Kempani Walanda (Belanda). Telah sampailah tiga tahuan berperang itu,
maka Yang Dipertuan Sultan Permansyah undurlah ke Batayan pada kampung yang
empat langgam, serta Yang Dipertuan pun teringatlah akan sumpah setia yang
diperbuat nenek moyang di atas Bukit Tinjau Laut. Maka menyurulah Yang Dipertuan
ke Kerinci. Setelah itu maka turunlah Raja Muda itu duduk pada negeri Inderapura
sembilan bulan sebelas hari pada tanah Batayan kampung yang empat langgam.
Dengan takdir Allah ta’ala berhentilah peperangan itu dan amanlah negeri.
……”
Dari
isi naskah di atas, terlihat usaha yang dilakukan oleh Raja Muda dalam membantu
pihak Kerajaan Indrapura untuk melawan para penjajah dan hasilnya amanlah
negeri tersebut.
Hubungan yang ketiga,
terlihat dari pertahanan yang dilakukan oleh pihak Kerajaan Indrapura untuk
mempertahankan wilayah Alam Kerinci dari sentuhan Belanda. Hal ini, terlihat
dari pesan dari Tuanku Sultan Mohammad Bakhi gelar Sultan Firmansyah kepada
menantunya Tuanku Rusli, dihadapan Penghulu Mantri 20 dan Mangkubumi Kabat
gelar Maha Rajo Iddin. Pesan tersebut berbunyi:
Hai Rusli jika kamu diangkat Belanda
jadi ganti aku, Alam Kerinci jangan kamu tunjukkan pada Belanda. Umurku tiada
beberapa hari lagi, ingatlah peasanku itu, walaupun apa yang terjadi jangan
ditunjukkan Alam Kerinci itu.[21]
Pesan
di atas, menunjukkan hal yang dilakukan oleh pihak Kerajaan Indrapura untuk
menjauhkan wilayah Alam Kerinci dari pengetahuan dan ancaman dari Belanda.
Walaupun akhirnya, wilayah Alam Kerinci berhasil ditemukan dan dikuasai oleh
Belanda setelah dibantui oleh Tuanku Rusli yang melanggar amanat dari Regent
Indrapura sebelumnya yang tidak lain ialah mertuanya sendiri. Akan tetapi,
pihak Kesultanan Indrapura (Mohammad Bakhi) telah menghambat dan menyembunyikan
wilayah Alam Kerinci dari pengetahuan Belanda bertahun-tahun lamanya, semenjak
awal menduduki Indrapura sampai tahun 1902.
Disamping hubungan dibidang ipoleksosbudhankam
di atas, masih banyak hubungan Alam
Kerinci dengan negeri jirannya tersebut. Kedua wilayah ini beberapa kali menjalin hubungan darah
melalui ikatan perkawinan, seperti halnya Mangku Sukarami Tuo menikah dengan
putri Kesultanan Indrapura. Hal ini terlihat dari adanya mangku yang bergelar
Mangku Sukarami Bandar Indrapura, gelar ini pertama kali disandang oleh anak
Mangku Sukarami Tuo dengan Putri Kerajaan Indrapura yang diambil dari gelar
Mangku Sukarami dan nama wilayah tempat tinggalnya, yaitu Bandar Indrapura.[22]
Sementara itu, Islampun dibawa dan
ikut dikenalkan oleh para ulama atau siak (syekh) dari Minangkabau ke wilayah
Alam Kerinci, kedatangan mereka
dijelaskan dalam sebuah naskah di wilayah Alam Kerinci yang berbunyi :
“Sebermula
datang dari darat alam Minangkabau luak tanah Padang Ganting, anak cucu tuan
Kadli Padang Ganting empat orang seperadik, yaitu: (1). Siak lengih. (2). Siak
Malindo. (3). Siak Bagindo Siak. (4). Siak Ulas. Adapun Siak Ulas lalu ke
batang Ulas wafat di situ dan Siak Bagindo Siak lalu ke Gunung Karang hulu
Tapan wafat di situ berkubur di tanah tebing tanah runtuh di bawah pohon kayu
menang, dan Siak Malindo lalu ke Gunung Tunggal Pengasi wafat di situ dan Siak
Lengih lalu ke renah Emir Biru disebutkan orang sekarang Koto Pandan”.[23]
Jika
benar hal ini terjadi, maka terlihat hubungan Alam Kerinci dengan Minangkabu
khususnya pihak basa ampek balai, dalam pengislaman masyarakat Alam
Kerinci. Hubungan basa ampek balai dengan Alam Kerinci dalam menyiarkan dan
mengembangkan ajaran Islam, merupakan salah satu tugas dan usaha dari Tuan Kadi
di Padang Ganting
yang membidangi urusan
keagamaan.
Itulah serangkaian hubungan, antara
wilayah Alam Kerinci dengan Alam Minangkabau dalam sejarah dan budaya yang
membuat orang beranggapan bahwa wilayah Alam Kerinci itu satu dan bagian dari
Alam Minangkabau. Anggapan tersebut hanyalah anggapan fiktif belaka, karena
wilayah Alam Kerinci tidak termasuk ke dalam kekuasaan Alam Minangkabau, namun
hanya sebatas negeri jiran yang memiliki hubungan yang sangat erat dan
harmonis.
Penutup
Kerjasama dan perjanjian serta
kesamaan anatara Alam Kerinci dengan Alam Minangkabau menunjukkan adanya
hubungan kedua wilayah ini dalam historis dan pertauan budaya. Kedekatan dan
kesamaaan kedua wilayah ini, menciptakan hubungan-hubungan yang dekat dan
harmonis dan turut mempengaruhi wacana yang mengutarakan bahwa Alam Kerinci
adalah bagian dari Alam Minangkabau. Hubungan kedua wilayah ini menunjukkan
bukti yang kuat bahwa, wilayah Alam Kerinci hanya sebatas berhubungan dekat
dengan Alam Minangkabau, tidak lebih dari itu, apalagi menjadi bagaian dari
Alam Minangkabau. Meskipun demikian, sangat banyak persamaan dan hubungan yang
menunjukkan bahwa wilayaah ini satu kesatuan. Untuk itu, perlu kajian
selanjutnya untuk membuka tabir misteri dibalik hubungan antara Alam Kerinci
dengan Alam Minangkabau.
[1]
Alam Kerinci yang sekarang lazim disebut kerinci adalah salah satu wilayah yang
berada di provinsi Jambi sekarang, penyebutan wilayah ini dalam berbagai
literature ditulis berbeda-beda, seperti Kerinci (Indonesia), Krinci
(Bengkulu), Kurinci (Minangkabau), Korintji (Belanda) dan Korinchi (Inggris).
[4]
C. W. (Bill) Watson mengajar Ilmu antropologi pada Universitas Kent di
Canterbury. Ia pernah melakukan program penelitian di Indonesia selama beberapa
tahun. Ia juga telah menerbitkan buku dengan Roy F. Ellen tentang Understanding
Witchcraft and Sorcery in Southeast Asia ( 1994) dan ia adalah penulis Kinship,
Property and Inheritance in Kerinci, Central Sumatra (1994).
[12]
Lihat C. W. Watson berjudul Kinship, Property and Inheritance in Kerinci,
Central Sumatera (bab I thesis). Di akses melalui situs http://lucy.ukc.ac.uk/csacpub/watson/contents.html, pada hari minggu 10 Februari jam 9. 30 pagi.
[23]
Voerhove, Op cit., dalam Deki Syaputra. ZE, Islamisasi di Wilayah Alam Kerinci
(Studi Terhadap Naskah Surat dan Piagam), Skripsi Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIN Imam Bonjol Padang, 2013, hal.
110.
Daftar
Pustaka
Zulfahmi,
Lintasan Budaya dan Adat Minangkabau, Jakarta: PT. Kartika Insan Lestari, 2003
Thomas
L. Lynn dan Benda-Beckmann Von Franz (ed)
Change And Continuity In Minangkabau,
Ohio University, 1985
Voerhoeve
(taalambtenaar t.b.v.d Gouveneu van Sumatra), Tambo Kerinci, Leiden, 1941.
Adrianus
Khatib, Kaum Padri Dan Pemikiran Keagamaan di Minangkabau, (Disertasi, 1991)
Mochtar
Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1973)
Irhash
A. Shamad, Danil M.Chaniago, Islam Dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau, Jakarta: PT. Tintamas, 2007
Maba-Yoruk, Muslim Peoples A World
Ethnographic Survey, London: Aldwych Press, 1994
Yulizal Yunus, dkk., Kesultanan
Indrapura dan Mandeh Rubiah di Lunang Spirit Sejarah Dari Kerajaan Bahari
Hingga Semangat Melayu Dunia, Padang: IAIN
IB Press, 2002
Deki
Syaputra. ZE, Islamisasi di Wilayah Alam Kerinci (Studi Terhadap Naskah Surat dan Piagam), Skripsi Jurusan Sejarah
dan Kebudayaan Islam Fakultas Ilmu
Budaya-Adab IAIN Imam Bonjol Padang, 2013
C.
W. Watson, Kinship, Property and Inheritance in Kerinci, Central Sumatera (bab I thesis) di http://lucy.ukc.ac.uk/csacpub/watson/contents.html,
pada hari minggu 10 Februari jam 9. 30
pagi.
M.
Jaiz Mangku Suka Rami Hitam Tuo, wawancara pribadi, Rawang 01 Mei 2013,
jam 10.00 WIB pagi.
Nelmawarni
Bungo dan Nordin Hussin, Merantau ke Kuala Lumpur: Tradisi merantau dan berdagang masyarakat
Minangkabau, dalam GEOGRAFIA OnlineTM
Malaysian Journal of Society and Space 7, 2011
0 komentar:
Posting Komentar