KIPRAH RAJA TANAH PILIH PUSAKO BETUAH (KESULTANAN JAMBI) DALAM PENYEBARAN ISLAM
Perkembangan Islam di
Indonesia sudah berlansung berabad-abad yang lalu, akan tetapi
pendapat-pendapat mengenai perkembangan Islam khususnya di Nusantara semakin
hari semakin diperdebatkan. Perdebatan tersebut, tidak hanya berlansung tentang
perkembangan Islam secara global di Nusantara tetapi juga mengenai perkembangan
Islam di daerah-daerah pedalaman tidak luput dari perdebatan tersebut.
Berbicara
mengenai masuknya Islam ke suatu wilayah di Nusantara, maka kita akan sering
kali dihadapkan kepada tiga persoalan, yaitu kapan Islam pertama kali sampai,
siapa yang membawa Islam dan bagaimana proses islamisasi. Islam sebagai sebuah
kepercayaan atau agama yang bukan tergolong ke dalam agama pribumi sebelumnya,
tentunya hal ini melibatkan berbagai pihak yang ikutserta dalam
perkembangannya.
Perkembangan
Islam di Nusantara dapat berjalan dengan lancar dan tanpa ada hambatan yang
besar, karena ada yang menopang penyiaran Islam tersebut. Salah satu penopang
dari penyiaran dan perkembangan Islam di Nusantara, ialah kerajaan atau
kesultanan. Hal ini karena, kesultanan merupakan sebuah kerajaan yang bercorak
Islam serta kesultanan ini muncul seiring dengan perkembangan Islam di
Nusantara.
Pengkajian
tentang identitas Islam dalam kesultanan di Nusantara, seringkali menjadi
perbincangan dikalangan para sejarawan khusunya bagi kesultanan yang minim dari
penulisan sejarah seperti kesultanan yang berada di pedalaman serta tidak
sebagai tonggak awal perkembangan Islam di Nusantara seperti Kerajaan Samudera
Pasan dan Kesultanan Malaka dll,. Salah satu wilayah kesultanan yang mengalami
kemerosotan dalam penulisan sejarah, ialah Kesultanan Jambi. Sehingga dapat
dikatakan bahwa, sejarah Islam di Negeri Jambi serta Kesultanan Jambi termasuk
sebuah kajian yang diamnesikan dalam sejarah.
Kesultanan dan Islamisasi
Sultan (bahasa Arab: سلطان,
sulthaanun, wanita: Sultanah) merupakan istilah dalam bahasa Arab yang berarti
"raja", "penguasa", "keterangan" atau
"dalil". Sultan kemudian dijadikan sebutan untuk seorang raja atau
pemimpin Muslim, yang memiliki suatu wilayah kedaulatan penuh yang disebut
Kesultanan (bahasa Arab: سلطنة, sulthanatun).[1]
Indonesia dikenal
sebagai sebuah wilayah yang memiliki banyak kerajaan/kesultanan, hampir di
seluruh pulau memiliki beberapa buah kesultanan. Kesultanan di Indonesia
tersebar, dari Sabang sampai Merauke yaitu Kesultaanan Aceh hingga Kesultanan
Ternate dan Tidore.[2]
Kesultanan-kesultanan tersebut, mengalami perkembangan dan kemajuan di bawah
kepemimpinan para sultannya sebagai penguasa.
Sebagaimana diketahui
bahwa, kesultanan merupakan sebuah produk kekuasaan dari Islam. Islam itu
sendiri dikembangkan serta disyiarkan oleh para ulama ke Nusantara yang tidak
terlepas dari bantuan raja-raja di Nusantara kala itu sebelum terbentuk sebuah
kesultanan. Barulah ketika kesultanan mulai tumbuh dan berkembang, islamisasi
di Nusantara juga di galakkan oleh para sultan disamping para ulama.
Sementara itu, sultan
sebagai penguasa atau pemimpin sebuah kerajaan Islam yang lazim disebut
kesultanan harus bertanggung jawab tentang segala hal yang menyangkut
kepemimpinan dan pemerintahannya, diantaranya hal yang berkaitan dengan
ideology, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan sebuah
kesultanan (IPOLEKSOSBUDHANKAM) yang dipimpinnya. Salah satu hal terpenting
yang menjadi tanggung jawab seorang sultan, ialah dibidang ideology tepat dalam
penyebaran agama Islam.
Keberadaan sultan
sebagai penyebar atau penyiar Islam di Nusantara, menunjukkan bahwa adanya
hubungan antara ulama dan sultan dalam menumbuhkembangkan Islam di Nusantara.
Dalam hal ini, terlihat keeratan antara sultan yang duduk di istana/kraton
dengan ulama yang berkedudukan di Masjid dalam penyebaran Islam. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa, perkembangan Islam di Nusantara ditopang oleh kepemimpinan
para sultan di istana dengan bantuan para ulama.
Sebuah teori yang
mengemukakan tentang peran seorang sultan dalam penyebaran Islam seperti halnya
teori yang sering dipakai oleh Uka Trandrasasmita mengemukakan tentang peranan
raja dalam Islamisasi. Ia mengemukankan bahwa, apabila bangsawan (sultan/raja)
menganut ajaran atau agama baru rakyat akan mengikutinya. Hal ini dikarenakan
para raja/sultan mereka pandang sebagai wakil tuhan di dunia.[3] Salah
satu kesultanan di Indonesia yang sangat memperhatikan tentang penyebaran agama
Islam ini, ialah Kesultanan Jambi.
Dalam konteks Islam di
Jambi, Islam menyandangi kekuasaan para Sultan Jambi dengan legitimasi. Hal ini
karena, adanya anggapanan bahwa keluarga Kesultanan Jambi berasal dari tokoh
legendaris Jambi berketurun Turki. Pada periode itu, Turki dipandang sebagai
perwujudan ideal Jambi tentang kekuatan ilahi dan sebagai juru selamat.[4]
Islamisasi
di Jambi
Azyumardi
Azra mengemukakan, wilayah Jambi termasuk daerah yang paling awal disinggahi
oleh pedagang Muslim dari Arab. Hal ini karena terletak di persimpangan Selat
Malaka, membuat perairan Jambi menjadi salah satu jalur the favoured commercial coast oleh pedagang dari Cina, India, dan
Arab, dan menjadi semakin penting dengan memudarnya pengaruh Kerajaan Sriwijaya
pada abad ke-13 M.[5]
Selama ini
ada beberapa pendapat yang berkembang mengenai masuknya dan berkembangnya Islam
ke Negeri Jambi. Pendapat pertama, masuknya
Islam ke Jambi berhubungan dengan masuknya Islam ke Palembang. Nakhoda Buzurg
bin Shahryar yang menulis kitab ‘Aja’ib
al- Hind (sekitar tahun 1000) meriwayatkan serta memberi kabar tentang
kunjungan pedagang Muslim Arab ke Kerajaan Zabaj (Sabak) atau Sribuzah
(Sriwijaya). Selain itu, Ibnu Khurdazbih ahli geografi berkebangsaan Persia dan
penulis Kitab al- Masalik wa al-Mamalik
(literatur geografis deskriptif berbahasa Arab paling awal, sekitar tahun 846
M), menyebutkan nama-nama tempat atau pulau, seperti Pulau Jabah.[6]
Penulis duga bahwa, Pulau Jabah yang dimaksud adalah negeri Sabak yang terletak
di Tanjung Jabung Timur provinsi Jambi sekarang.
Mengenai
hal yang disebut di atas tadi, ada dua surat yang menerangkan tentang hubungan
Jambi dengan Muslim Arab, yaitu surat yang dikirim raja Sriwijaya ke khalifah
di negeri Arab. Surat pertama diterima oleh Khalifah Muawiyah (w.41 H /661 M)
dan surat kedua diterima oleh Umar bin Abd al-Aziz (99-102 H /717-720 M).[7]
Dalam kedua surat ini disebut wilayah Sriwijaya dialiri dua sungai yaitu,
Batanghari dan Musi, maka dapat diperkirakan bahwa letak Sriwijaya meliputi
Jambi dan Palembang. Jadi dari informasi tersebut dapat disimpulkan Muslim Arab telah datang ke Jambi pada masa
Sriwijaya, yakni di paruh kedua abad ke 7 M.
Pendapat kedua, Islam sudah masuk dan berkembang
di Negeri Jambi pada abad ke XV M bersamaan dengan kebangkitan Kerajaan Jambi.
Saat dipimpin oleh Putri Selara Pinang Masak, Kerajaan Melayu kedatangan
seorang Muslim dari Turki seorang saudagar dan ulama bernama Ahmad Salim atau
Ahmad Barus II.[8]
Ahmad Salim adalah raja Turki keturunan dari Sultan Saidina Zainal Abidin bin
Saidina Husen bin Fatimah Zahra binti Saidina Rasul. Ia menikah dengan Putri
Selara Pinang Masak dan dikurnai empat orang anak yaitu Orang Kayo Pingai,
Orang Kayo Kedaratan, Orang Kayo Hitam dan Orang Kayo Gemuk.[9]
Melalui pernikahan ini, Islam berkembang pesat di Negeri Jambi dan menjadi
agama resmi Kerajaan Melayu, serta titik awal Kesultanan Jambi yang menjadikan Islam
semakin berkembang dan tersebar ke seluruh penjuru Jambi.
Pendapat ketiga, sesuai dengan laporan tim
peneliti IAIN STS Jambi, mengungkapkan tentang kedatangan seorang ulama dari
tanah Arab pada abad ke-17 M yang bernama Sayyid Husin Ahmad Baraqbah tepatnya
pada tahun 1615 M. Ketika sampai di Negeri Jambi, ia tinggal di Pecinan daerah
tempat menetapnya para pedagang dari Negeri Cina. Di daerah tersebut lah, ia
mengenal dan menikah dengan Putri Sin Tay yang bernama Sin Ing tau Siti
Fatimah. Akhirnya banyak warga/pedagang Cina di wilayah ini memeluk agama Islam.[10]
Nampaknya dalam hal ini ulama yang bernama Sayyid Husin Ahamd Baraqbah, memakai
metode perkawinan untuk menyebarkan serta menyiarkan ajaran Islam di Negeri
Jambi tepatnya di Pecinan atau Sebrang Jambi sekarang.
Jadi dari
pendapat di atas, Islam sudah bersentuhan dengan Negeri Jambi semenjak abad
ke-7 dan 8 Masehi. Akan tetapi, pada masa ini Islam belum menampakkan wujudnya
ke permukaan atau Islam belum mengepangkan syapnya ini Negeri Jambi dengan kata
lin belum di kenal oleh masyarakat luas. Islam baru menampakkan wujudnya di Negeri
Jambi, ketika islam telah menjadi agama resmi Kerajaan Jambi pasca kedatangan
Ahmad Salim atau Datuk Panduko Berhalo yang menikah dengan Puti Selaras Pinang
Masak Raja Kerajaan Jambi di abad ke-15 Masehi. Kemudian beberapa dekade
berikutnya tepatnya abad ke-17 Masehi, ketika Islam muali mengalami
perkembangan para ulama dari tanh Arab tetap bertangan ke Negeri Jambi untuk
menyebarkan syiar Islam, seperti yang dilakukan Oleh Sayyid Husin Ahamd
Baraqbah pada abad ke-17 M.
Para Raja/Sultan Jambi
Sebagai sebuah Kesultanan yang memiliki sejarah yang
panjang, tentunya Kesultanan Jambi juga memiliki bebrappa orang raja/sultan
yang memerintah dan berkuasa di Negeri Jambi ini. Raja/Sultan di Kesultanan
Jambi telah memerintah berturut-turut semenjak berdirinya Kerajaan Jambi pasca
terpecahnya Kerajaan Melayu Menjadi dua, yaitu Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan
Jambi sekitar awal abad ke-15 Masehi. Setidaknya kerajaan ini, dimulai dari
masa kepemimpinan Puti Selaro Pinang Masak (1460-1480) sampai Sultan Thaha
Syaifuddin (1855-1904).
Jika dirunut jumlah semua raja/sultan yang pernah
memimpin Kesultanan Jambi lebih kurang 21 orang, terdiri dari delapan orang
raja (Rajo) dan tiga belas orang sultan. Adapun nama dan periode kepemimpinan
para raja/sultan yang memimpin Kerajaan/Kesultanan Jambi sepanjang sejarah
Kerajaan jambi sebagai berikut.
1.
Puti Selaro Pinang Masak (1460-1480);
pada masa ini Raja Jambi dikenal dengan sebutan Rajo Melayu Tanh Pilih.
2.
Orang Kayo Pingai
(1480-1490);
3.
Orang Kayo Kedaratan
(1490-1500);
Kedua raja di atas,
dikenal dengan sebutan Rajo Melayu Jambi.
4.
Orang Kayo Hitam
(1500-1515);
5.
Penambahan Rantau Kapas
(1515-1540);
6.
Penambahan Rengas Pandak
(1540-1565);
7.
Penambahan Bawah Sawo
(1565-1590);
8.
Penambahan Koto Baru
(1590-1615);
Pada kepemimpinan lima
raja di atas, raja dikenal dengan sebutan Rajo Melayu Islam Tanah Pilih.
9.
Sultan Agung Abdul Qahar
(1615-1643);
Masa kepemimpinan
Sultan Agung Abdul Qahar, sebagai tonggak awal raja/penguasa
Kerajaan/Kesultanan Jambi bergelar sultan.
10. Sultan Agung Abdul Jalil (1643-1665);
11. Sultan Abdul Muhyi Sri Ingologo (1665-1690);
12. Sultan Kiai Gedeh (1690-1696);
13. Sultan Mahmud Syah (1696-1740);
14. Sultan Sri Maharajo Batu (1696-1721);
Sultan Sultan Mahmud
Syah berkedudukan di Tanah Pilih Jambi, sedangkan Sultan Sri Maharajo Batu
berkedudukan di Mangun Jayo (M. Tebo) sebagai sultan tandingan.
15. Sultan Sri Ingologo (1740-1770);
16. Sultan Anom Sri Ingologo (1770-1790);
17. Sultan Ratu Sri Ingologo (1790-1812);
18. Sultan Agung Sri Ingologo (1812-1833);
19. Sultan Muhammad Fachruddin (1833-1841);
20. Sultan Abdurrahman Nazaruddin (1841-1855);
21. Sultan Thaha Syaifuddin (1855-1904).
Sultan Thaha Syaifuddin adalah sultan terakhir Kesultanan Jambi,
ia gugur ketika melawan Belanda pada tahun 1904 di Desa Betung Berdarah (Tebo).
Selain itu juga terdapat sultan produk Belanda atau sultan yang diangkat oleh
penguasa Belanda, dikenal dengan sebutan sultan Bayang. Sultan pada masa ini
terdiri dari tiga orang yang memimpin berkisar dari tahun 1858 sampai dengan
tahun 1899 Masehi. Adapun nama sultan/raja yang dibawah tekanan belandasebagai
berikut:
1. Sultan Ahmad Nasaruddin/Raden Ahmad (1858-1881);
2. Sultan Ahmad Mukyidin (1881-1885);
3. Sultan Ahmad Zainuddin/Pangeran Surio (1886-1906).[11]
Peran Raja/Sultan Jambi Dalam Islamisasi
Seorang sultan atau raja yang merupakan penguasa di sebuah
kerajaan/kesultanan, dalam hal ini Kesultanan Jambi juga berperan sebagai tokoh
utama dalam penyebaran Islam di Negeri Jambi. Hal ini dikarenakan, Islam telah
ditopang oleh kepemimpinan yang berbentuk kerajaan/kesultanan. Dalam artian,
apabila seorang raja telah menganut ajaran Islam maka masyarakat akan ikut
menganut ajaran yang dianut oleh rajanya. Berikut ini akan dijabarkan serta
dijelas beberapa orang Raja/Sultan Jambi yang ikut berperan dalam Islamisasi.
Datuk Paduko Berhalo setelah mengislamkan serta menikahi Tuan
Putri Selaras Pinang Masak seorang Raja Jambi keturunan Pagaruyung, iapun
menjadi Raja Kerajaan Jambi bersama istrinya. Sebagaimana diketahui bahwa Datuk
Paduko Berhalo titik awal Islam di Kerajaan Jambi atau Negeri Jambi,[12]
sudah jelas memiliki peran dalam islamisasi apalagi setelah ia menjadi raja di
Kerajaan Melayu Jambi.
Pada tahun 1500 sampai dengan 1515 Masehi, Kerajaan Jambi dipimpin
oleh Orang Kayo Hitam. Pada masa ini, Kerajaan Jambi dikenal dengan dengan
Kerajaan Melayu Islam Tanah Pilih Jambi.[13]
Jadi, sudah jelas Islam telah menjadi agama resmi dan identitas Kerajaan Jambi.
Islam telah berkembang di Kesultanan Jambi dan Negeri Jambi pada
masa Orang Kayo Hitam, terbukti dengan adanya disebut dalam naskah sejarah
Jambi.
Pasal yang tiga puluh enam: Pri menyatokan awal Islam di Jambi
zaman Orang Kayo Hitam bin Datuk Paduko Berhalo yang mengislamkannyo. Kepado
hijrat Nabi Sallallahi Alaihi Wassalam 700 tahun kepado tahun Alif bilangan
Syamsiah, dan kepado sehari bulan Muharam, hari Kemis, pada waktu zuhur, maso
itulah awal Islam di Jambi mengucap duo kalimat Syahadat, sembahyang limo
waktu, puaso sebulan ramadhan, zakat dan fitrah, barulah berdiri rukun Islam
yang limo.
Sementara itu,
selain mengislamkan rakyat Jambi, Orang Kayo Hitam juga mengislamkan tiga orang
saudara sepupunya dari keturunan ibunya. Ketiga saudaranya tersebut diberi
gelar Sunan Muaro Pijoan, Sunan Kembang Sari dan Sunan Pulau Johor. Disamping
itu, Orang Kayo Hitam juga berhasil memadukan dasar hukum pemerintah Kerajaan
Melayu dengan ajaran Islam, dikenal dengan sebutan “Adat Bersendi Syarak dan
Syarak Bersendi Kitabullah”.
Adanya
perbaduan dasar Kerajaan Melayu Jambi dengan ajaran Islam oleh Orang Kayo Hitam
dalam melakukan islamisasi diperlihatkan dengan diberlakukannya undang-undang
pemerintahan Pucuk Undang Nan Delapan, hukum ini berdasarkan al-Qur’an dan
al-Hadits. Adapun beberapa isi dari undang-undang tersebut sebagai berikut.
Dalam pasal pertama,
undang-undang ini menjelaskan mengenai perbedaan antara hukum adat dengan
syarak. Penjelasan-tersebut disertai dengan dalil al-qur’an, seperti Ahadu Hasyar’an Mulazimu Wassani ‘Adatil
Qauwiyi salah satu dari pada syarak yang lazim dan adat yang kawi, Lianna Syar’an Mueafiqatil Ulama dari
karena bahwasanya syarak itu memufakat segala ulama, serta Lianna ‘Adatil
Qawiyi Muwa Fiqati Bisyaiidi Fil Bilad dari karena bahwasanya adat yang kawi
itu mufakat dengan penghulu dalam negeri.
Pasal kedua dari undang-undang
ini menjelaskan tentang dakwa-dakwa. Sebagaimana dijelaskan bahwa dakwa dalam
hukum syarak tiga perkara pertama syarak, kedua dakwa serta makruf dan ketiga
dakwa majhul namanya. Jawab dari tiga dakwa ini tiga perkara pula pertama jawab
isabat, jawab naïf dan ketiga jawab nuntut dan nafi isabat. Nampak pada bagian
ini, undang-undang mengatur tentang hukum dakwa yang didasarkan pada kitab
Dakwa Al Mudda’I ‘Ala Bayyina Walyamini A’la Munkir artinya saksi atas yang
memenuntut dan sumpah atas simunkir.
Dua pasal di
atas, adalah pasal bagian awal dalam pucuk undang ngan delapan. Berikut ini
akan dilihat isi dari undang ini bagian tengah, yaitu pasal ke tiga puluh dua.
Dalam pasal ini dijelaskan tentang ketentuan saksi, pertama keluar perempuan
masuk laki-laki, kedua keluar pasik masuk taat, ketiga keluar gila masuk
berakal, keempat keluar sahaya masuk merdeka. Inilah yang boleh dan sah menjadi
saksi. Selain itu, dalam bagian ini juga disebut bahwa bermula Allah SWT jua
yang sebenar-benar saksi yang lebih mengetahui dan amat mendengar perkataan
hambanya.
Pasal-pasal di
atas, ialah bebrapa isi dari pucuk undang ngan delapan. Ketentuan ini
diterapkan serta diberlakukan oleh Orang Kayo Hitam dalam mengarungi
kepemimpinannya di Kerajaan Jambi. Bahkan pemakaian pucuk undang ini, juga
diteruskan sampai masa raja atau sultan berikutnya setelah Orang Kayo Hitam
mangkat dan turun tahta dari Kerajaan Jambi.
Pada tahun 1615
sampai dengan tahun 1643 Masehi, kerajaan ini diperintah oleh Pangeran Kedak
atau dikenal dengan sebutan Sultan Abdul Qahar. Pada masa inilah penggunaan
gelar sultan untuk nama Raja Jambi di proglamirkan.[14]
Hal ini ditandai dengan pergantian gelar raja (rajo) atau panembahan menjadi
sultan. Ini merupakan sebuah bentuk yang menunjukkan bahwa pada masa ini Islam
telah menunjukkan jati dirinya di Kerajaan Jambi karena penguasanya telah
bergelar sultan seperti Kerajaan Islam lainnya, maka kerajaan ini pun berubah
menjadi sebuah kesultanan sesuai dengan nama gelar yang disandang oleh
pemimpinnya.
Pada tahun 1690
sampai dengan tahun 1696 Masehi, Kesultanan Jambi diperintah oleh Sultan Kiyai
Gede atau Raden Candra serta ia juga bergelar Pangeran Depati Cakranegara. Pada
masa kepemimpinannya, ia tidak hanya mengembangkan syiar Islam di Negeri Jambi saja
melainkan sampai ke negeri jirannya yaitu negeri pucuknya yang dikenal dengan
sebutan Merangin-Kerinci.
Sultan Kiyai
Gede, mengembangkan ajaran Islam tepatnya dibidang penguatan tauhid serta
himbauan menhentikan hal yang dilarang atau bertentangan dngan syarak. Hal ini
tersurat dalam naskah di Wilayah Alam Kerinci yang berbunyi sebagai berikut.
“………………….Maka yang
terlebih mungkar pada syara’ itu yaitu empat perkara: Pertama jikalau kematian
jangan diarak dengan gendang, gung, serunai dan bedil dan kedua, jangan diberi
laki-laki bercampur dengan perempuan bertauh nyanyi suatu tempat dan kedua
jangan bersalih memuji hantu dan syetan dan batu, kayu dan barang sebagainya
dan ketiga jangan menikahkan perempuan dengan tiyada walinya dan keempat jangan
makan minum yang haram dan barang sebagainya daripada segala yang tiyada
diharuskan syarak. ……….”.[15]
Naskah ini dikirim oleh Sultan Kiyai Gede melalui Pangeran
Temenggung di Muaro Mesumai,yakni Pangeran Ratu Negara ke Depati Sandaran Agung
serta Depati Empai dan Delapan Helai Kain. Naskah ini juga diketahui oleh Tuan
Sidi Abdulmu’min. Kemungkinan beliau merupakan penasehat bidang keagamaan di
Kesultan Jambi pada masa kepemimpinan Sultai Kiyai Gede.
Pada masa kepemimpinan Sultan Anom Sri Ingologo tahun 1770 sampai
dengan tahun 1790 Masehi, juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan
oleh Sultan Kiyai Gede dalam menyebarluaskan atau mengeras hukum Islam di Alam
Kerinci. Hal ini termaktub dalam naskah di Alam Kerinci yang berbunyi sebagai
berikut.
“……… . Mufakatlah kamu dengan
segala……yang di dalam ‘alam Kerinci mendirikan agama Rasul Allah salla llahu
‘alaihi wasallam dan se-boleh2nya buangkan kamu barang yang mungkir………..
mufakatlah kamu mehubahkan dilarangkan Allah ta’ala dan Rasulnya karena dunia
ini sangatlah akhir. Sebaikbaiknya kamu dirikan ugama yang sebenarnya ……”.[16]
Naskah ini
dikirim oleh Sultan Anom Sri Ingologo melalui Pangeran Sukarta Negara untuk
wasyah yang karim wakalbu salim yaitu Kiyai Dipati Sanggaran Agung, Depati
Empat, Dipati Tujuh dan Dipati Dua Belas serta dipati yang ada dalam Alam
Kerinci. Naskah ini tetanggal pada hari Selasa 25 Jumadilakhir, tepatnya
tanggal 21 bulan 7 tahun1778.
“…… . Menitahkan segala haji-haji dan segala Syekh
dan segala Pakih dan segala Imam Khatib akan jadi penghubung segala hukum
depati dengan hukum Kitabullah, karena segala Malim yang tersebut itu
mengetahui segala yang patut didenda segala depati dan mengetahui segala halal
haram pekerjaan depati, karena syara’ itu ibu bapak segala pekerjaan. Itulah
perintah dari duli Sultan serta Pangeran Suria Kesuma serta Pangeran Ratu,
serta Kadli dalam Negeri Jambi adanya.[17]
Sementara
itu, dalam naskah tersebut banyak diselingi dengan ayat-ayat Al-Qur’an.Salah
satu diantaranya, yaitu terdapat pada baris ketiga dalam naskah tersebut.
“….. Dalil di dalam qur’an 'in takhkum bainannaasi ‘an takhkum bil’adlihi, artinya: hukumkan
antara segala manusia dengan hukum yang adil dan pula firman Allah fa’in tanaazaktum fi shay’in farudduuhu
‘ilallahi warrasuli, artinya: maka jika bersalahan mereka itu pada suatu2
kembalilah pada kata Allah dan kata Rasul,… .[18]
Naskah di samping, di tulis oleh Haji
dan seorang Imam atas perintah Sultan dan Sultan Kesultanan Jambi. Tepatnya
disurati (ditulis) oleh Haji ‘Umar serta tuan Imam Dereuh di Sungai Tabir atas
perintah Pangeran Suria Kesuma, Pangeran Ratu dan Raja Sultan Mas’ud Badruddin
serta qadli dalam Negeri Jambi untuk para depati di Alam Kerinci pada tahun
1208 H atau 1793 M. Naskah tersebut, dikirim ke Mendapo Hamparan Rawang untuk para depati di Alam Kerinci khususnya
Depati Empat Delapan Helai Kain. Hal
ini karena, Hamparan Besar Tanah Rawang sebagai balairung pertemuan Depati
Empat Pemangku Lima Delapan Helai Kain.[19]
Masa ini dikatakan masa terakhir
Kesultanan Jambi memperhatikan perkembangan Islam, karena masa berikut sultan
Kesultanan Jambi disibukan pengaruh dari luar seperti konflik antara Jambi
dengan Palembang. Selain itu, Sultan Kesultanan Jambi memfokuskan pada
pertahanan dan keamanan Negeri Jambi dari kolonial Belanda dengan misi
kolonialisasinya di Negeri Jambi.
Kesimpulan
Agaman Islam merupakan agama resmi dan
sebagai identitas Kerajaan/Kesultanan Jambi semenjak masa kepemimpinan Orang
Kayo Hitam di Negeri Jambi. Berbagai bentuk islamisasi yang dilakukan oleh
Orang Kayo Hitam dalam mengakkan syiar Islam di Kesultanan Jambi. Salah satunya
dengan memberlakukan perpaduan antara adat dengan syarak yang terhimpun dalam
Pucuk Undang Ngan Delapan.
Sementara itu, para sultan/raja yang
memerintah setelah Orang Kayo Hitam juga melakukan eksistensi penyiaran dan
pengembangan Islam di Negeri Jambi. Bahkan para raja/sultan juga sampai
menyiarkan Islam dalam bidang mengeraskan hukum syarak seperti yang dilakuakan
di Alam Kerinci. Hal ini dilakuakan dengan pengiriman sepucuk surat dan piagam
dari Kesultanan Jambi melalui Pangeran Temenggung yang berkedudukan di Muaro
Mesumai kepada para depati di Alam Kerinci.
Dengan dekimian, dalam penyebaran
Islam di Negeri Jambi tidak hanya dilakuakan oleh para ulama. Akan tetapi juga
dilakukan oleh raja/sultan yang memerintah kala itu, maka dalam hal ini dapat
dikatakan sultan sebagai penyiar agama Islam di Negeri Jambi selain para ulama.
Daftar Pustaka
Naskah:
Lembaran
Naskah Mendapo Rawang
Naskah
Melayu yang ditulis oleh Ngabihi Shuto Dilogo, Ini Sejarah Kerajaan Jambi Sejak
Tahun 700 Hijriah.
Naskah
Ngebi Sutho Dilogo Priyayi Rajo Sari, Silsilah Raja-raja Jambi: Undang, Piagam dan
Cerita Rakyat Jambi.
Buku
Azra,
Azzumardi. Jaringan Ulama Timut Tengah
Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII : Melacak Akar-akar Pembaharuan
Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung ; Mizan , 1992.
Al
Munawir, Ahmad Warson. Kamus Bahasa Arab,
Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997.
Deki
Syaputra. ZE. Islamisasi di Wilayah Alam Kerinci (Studi Terhadap Naskah
Surat dan Piagam), Padang: Skripsi Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIn Imam
Bonjol Padang, 2013.
Harun,
M. Yahya. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI
dan XVII, Yogyakarta: PT. Kurnia Kalam Sejahtera,1994.
Locher,
Elsbeth. Kesultanan Sumatra dan Negara
Kolonial (Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme
Belanda, Jakarta: Banana KITLV, 2008.
Lindayanti,
dkk., Jambi Dalam Sejarah 1500-1942,
Jambi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, 2013.
Muchtar
Agus Cholif, Timbul Tenggelam Persatuan
Wilayah Liak XVI Tukap Tuhut di Bumi Undang Tambang Teliti, Jambi: [t.p],
2009.
Sumardi,
Mulyanto (ed.). International Seminar on
Islam in Southeast Asia, Jakarta: Lembaga Penelitian IAIN Syarif
Hidayatullah, 1986.
Schrieke,
B. J. O,. Indonesia Sociological Studies,
Part One, Den Haag dan Bandung: Van Hoeve, 1955
Tim
Penulis, Kesultanan Jambi Dalam Konteks
Sejarah Nusantara, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011.
Voerhove.
Tambo Kerinci, Salinan Tulisan Jawa Kuno, Incung dan Melayu Disimpan
Sebagai Pusaka Di Kerinci, Leiden [t.p, 1969].
[1] Ahmad Warson Al Munawir, Kamus Bahasa Arab, Yogyakarta: Pustaka
Progresif, 1997, hlm. 650.
[2] Lihat M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII,
Yogyakarta: PT. Kurnia Kalam Sejahtera, hlm. 11-99.
[3] Uka Trandrasasmita, The Arrival and Expansion of Islam in
Indonesia in Relation to South-east Asia, dalam Mulyanto Sumardi (ed.), International Seminar on Islam in Southeast
Asia, Jakarta: Lembaga Penelitian IAIN Syarif Hidayatullah, 1986), hlm. 24.
[4] Elsbeth Locher, Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial
(Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda,
Jakarta: Banana KITLV, 2008, hal. 23.
[5] B. J. O. Schrieke, Indonesia Sociological Studies, Part One,
Den Haag dan Bandung: Van Hoeve, 1955, hal. 16
[6] Uka Tjandrasasmita, Op cit., hal 11 dan Lihat juga Azzumardi
Azra, Jaringan Ulama Timut Tengah Dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII : Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran
Islam di Indonesia, (Bandung ; Mizan , 1992, hal. 42
[7] Azzumardi Azra, Ibid., hal. 42
[8] Lindayanti, dkk., Jambi Dalam Sejarah 1500-1942, Jambi:
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, 2013, hlm. 129.
[9] Naskah Melayu yang ditulis oleh
Ngabihi Shuto Dilogo, Ini Sejarah
Kerajaan Jambi Sejak Tahun 700 Hijriah, Lembaran ke tiga belas dan lembaran
pertama.
[10] Tim Penulis, Kesultanan Jambi Dalam Konteks Sejarah
Nusantara, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011, hlm. 75-76.
[11] Lihat dalam Muchtar Agus Cholif,
Timbul Tenggelam Persatuan Wilayah Liak
XVI Tukap Tuhut di Bumi Undang Tambang Teliti, Jambi: [t.p], 2009, hal.
79-80. Lihat juga Lindayanti, op Cit.,
hlm.131-132. Selain itu, lihat juga Ngebi Sutho Dilogo Priyayi Rajo Sari, Silsilah Raja-raja Jambi: Undang, Piagam dan
Cerita Rakyat Jambi, disunting oleh Ratu Mas Zahra, Jambi: Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Provinsi Jambi, 2005, hlm. 40-41.
[12] Naskah Melayu yang ditulis oleh
Ngabihi Shuto Dilogo, op Cit.,
lembaran ke Sembilan belas.
[13] Muchtar Agus Cholif, op Cit., hlm. 79.
[14] Tim Penulis, op Cit., hlm. 49.
[15] Naskah Kuno di Mendapo Liling
Danau dalam Voerhove. Tambo Kerinci, Salinan Tulisan Jawa Kuno,
Incung dan Melayu Disimpan Sebagai Pusaka Di Kerinci, Leiden [t.p, 1969].
[16] Ibid.,
[18] Ibid,.baris ke 3
[19] Deki Syaputra. ZE, Islamisasi
di Wilayah Alam Kerinci (Studi Terhadap Naskah Surat dan Piagam), (Padang:
Skripsi Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIn Imam Bonjol Padang, 2013), hlm. 72.
0 komentar:
Posting Komentar