Ditulis
Oleh : Deki Syaputra. ZE, S. Hum
SERINTIK
TENTANG SEJARAH KUMUN (KERINCI)
A. Asal Usul Nama Kumun
Saat ini belum banyak yang menerangkan
mengenai asal usul nama Kumun, berikut ini akan di jelaskan sekelumit tentang
asal usul lekatnya nama suatu daerah dengan sebutan Kumun. Kata “Kumun” berasal dari kata kmu. Kmu berasal dari kata tmu atau temu yang di ambil dari kosakata pertemuan.
Hal di atas, di dasarkan pada sebuah
catatan yang menerangkan bahwa di wilayah ini terdapat sebuah tempat berapat atau pertemuan raja-raja, baik
raja dari wilayah tetangga atau negeri jiran Alam Kerinci, maupun para pemuka
masyarakat dan tetua adat di Alam Kerinci. Salah satunya adalah pertemuan Raja
Sultan Geger Alam Syah dari Indrapura (Minangkabau), Pangeran Temenggung Kabul
Dibukit dari Mesumai, Bangko (Jambi) dan para depati di Alam Kerinci (Depati
IV-VIII Helai Kain), melakukan rapat perjanjian untuk mewujudkan dan
meningkatkan keamanan, kesejahteraan, dan musyawarah menentukan batas wilayah
dari ketiga daerah tersebut. Rapat ini juga dihadiri dan disaksikan oleh Rajo
Bakilat dari Siulak dan Nymapai Siung (Nymape Siao) dari Kumun.[1]
Tempat berapat tersebut, di sebuah bukit yang dinamai dengan Bukit Setinjau
Laut atau Bukit Paninjau Laut yang terletak di wilayah Koto Temu atau di
wilayah Depati Sempurno Tiang Bumi Putih.[2]
Jadi, dari kata pertemuan itulah muncul
kata temu yang dikemudian hari,
berubah menjadi Kemu dan dibahasa Indonesiakan menjadi Kumun. Sebutan Kumun,
juga terdapat dalam naskah kuno di wilayah lain di Alam Kerinci yang
menyebutkan nama wilayah ini dengan sebutan Kemun.[3]
Selain itu, penulis juga bependapat bahwa Kumun juga berawal dari kata “temu” dan juga berasal dari kata
pertemuan. Ini didasarkan pada wilayah Kumun yang ditinggali masyarakat
setempat saat sekarang dijadikan tempat bertemunya empat pemuka masyarakat dari empat koto[4], ketika bermusyawarah dan untuk
persiapan menghadap Pangeran Temengung Kabul Dibukit di Muaro Mesumai Bangko.
Sementara itu, jika di analisa isi dari
naskah kuno yang ada diwilyah tersebut, menyebutkan asal usul nama Kumun ini,
walaupun tidak menjelaskannya secara lansung dan jelas. Naskah tersebut
menyebutkan “batang airnyo kemuan sungai
panjang”.[5]
Fakta menunjukkan bahwa Kumun sekarang memang memiliki sungai yang panjang dan sungai
tersebut saling berhubungan dan memiliki satu muara, yaitu sungai Muara Air.
Jadi dapat kita tarik kesimpulan bahwa asal kata Kumun berasal dari nama
Sungai Kemuan yang akhirnya menjadi nama wilayah tersebut yang disebut dengan
Kumun sekarang ini.
Sementara itu, Tahar Ramli[6]
menyebutkan wilayah Kumun, tepatnya di sekitar perbukitan Batu Sandaran
Galeh dulunya merupakan salah satu jalan para pedagang dari Alam Kerinci
untuk berdagang ke Negeri Lunang di Indrapura. Hal ini seiring dengan pendapat
atau cerita tetua-tetua Kumun yang menyatakan bahwa, pada masa dahulu di atas
perbukitan dekat Desa Sandaran Galeh sekarang terdapat batu tempat para
pedagang menyandarkan galehnya (barang bawaan), inilah asal usul penamaan dari
Desa Sandaran Galeh tersebut.
Pendapat di atas, berhubungan dengan
asal usul penamaan Kumun yang berasal dati kata temu, bertemu atau pertemuan.
Sebagaimana disebut tadi bahwa, wilayah ini merupakan jalan para pedagang dari
Alam Kerinci tepatnya tempat bertemunya para pedagang dari seluruh wilayah Alam
Kerinci baik ketika pergi maupun pulang berdagang dari negeri Lunang dengan
melalui Batu Pintu (Batu Pintau), dalam salah satu naskah di Alam
Kerinci disebut dengan Batu Bapintu.
Itulah sekelumit tentang asal usul nama
Kumun, didasarkan pada tradisi lisan atau cerita turun temurun yang berkembang
dalam masyarakat di wilayah ini. Hal ini, juga disertai dengan analisa penulis
dan didukung dengan data-data yang dapat menguatkan pendapat tersebut.
Kesimpulan ini bukanlah kesimpulan yang mutlak, melainakan kesimpulan awal yang
penulis dapatkan dan kesimpulan ini dapat dibantah jika ada pendapat lain yang
benar dan kuat buktinya.
B.
Asal Usul Terbentuknya Kedepatian Depati Empat Kumun
Pada awalnya wilayah Kumun tidak
memiliki pemerintahan berupa kedepatian, sedang di wilayah lain sudah terdapt
pemerintahan depati, yang dikenal dengan Depati
Tujuh Helai Kain, Depati Empat Helai Kain Dan Depati Delapan Helai Kain.
Hal ini dikarenakan, wilayah Kumun belum mendapat gelar adat serta ajun arah tanah kekuasaan adat dari
pihak Kesultanan Jambi atau pihak pangeran temenggung yang berkedudukan di
Muaro Mesumai (Bangko). Hal tersebut dikarenakan Kumun adalah salah satu
wilayah yang tidak ditempuh atau dilalui raja (Pangeran Temenggung Kabul
Dibukit), serta wilayah tersebut sangat kecil kala itu dan penghuninyapun masih
sedikit.
Selain itu, wilayah ini juga berdekatan
dengan wilayah Sungai Penuh, seakan-akan wilayah ini satu dalam kesatuan.
Dimana pada masa ini, wilayah Sungai Penuh memegang jabatan sebagai Pegawai
Rajo, Cermin yang tiada kabur, memegang kitab Allah,[7]
istilah ini sering juga disebut, Pegawai
Rajo Pegawai Jenang Suluh Bendang Dalam Negeri Kiyai/Depati Nan Bertujuh Di
Alam Kerinci (Suluh Bendang Depati Empat Delapan Helai Kain). Ada sebuah
ungkapan yang lazim disebut oleh para tetua adat Sungai Penuh, yaitu wilayah Kumun dan Sungai Penuh sepeluk dan
sepangku.
Orang Kumun kala itu, suka mengikuti
orang banyak karena jumlah mereka sedikit serta daerahnya masih kecil
dibandingkan wilayah lain, dimana pada masa ini wilayah Kumun hanya terdiri
dari 4 (empat) koto saja. Sehingga Kumun, ikut saja kemana arah angin
membawanya asalkan mereka tidak rugi dan tidak ditindas serta tidak
membahayakan masyarakat dan wilayah Kumun tersebut. Di dalam deto telitai,[8] yang bersumber dari manuskrip yang
ditemukan di Kerinci, menyebutkan bahwa wilayah kumun adalah pengikut, seperti
berikut ini;
“
………Di lembak napal yang berjenjang dua, di darat surian yang berjenjang tiga,
maka di mudik ke Ujung Pasir Peninjau danau, Semerah tidak berbasa, Tanjung
pondok alang semuang, orang Kumun suka menurut, cupak dikilan Manti Rang empat,
Sungai Penuh Pagawe Raja Pagawe Jenang Suluh Bendang Depati Empat Helai
Kain,……”.[9]
Kalimat “orang Kumun suka menurut” di atas, jangan sampai salah di artikan,
karena kata “menurut” disana tidak
merujuk kepada pengikut atau jajahan. Melainkan kata tersebut, memiliki makna
tidak membangkang atau menerima keputusan orang lain, selagi keputusan tersebut
benar dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Walaupun demikian bukan bearti
wilayah lain bisa semena-mena dengan wilayah Kumun dan masyarakatnya. Jika hal
itu terjadi, wilayah ini sangat menentang bahkan sanggup bertempur atau
berperang.
Wilayah Kumun baru mendapat wilayah Adat
pada tahun 1106 H atau 1694 H, yaitu wilayah dan kepemimpinan adat sendiri,
dengan mendapo hutan, mendapo tanah,
depatai dinga burampak (berempat). Hal ini berlaku, setelah dikeluarkannya
surat piagam dan slak oleh Temenggung
Kabul Dibukit dari Muaro Mesumai Bangko. Maka dari itu, tersebutlah sebuah
kepemimpinan adat Depati IV di wilayah
empat koto di Kumun (Kmu). Penyerahan tersebut juga disaksikan oleh Depati
Setio Rajo[10]
yang merupakan depati yang terhimpun kedalam Depati Tujuh Helai Kain atau
Depati Tiga Helai Kain di Kerinci Rendah. Setelah penjeputan gelar sko ke Muaro Mesumai, maka wilayah
ini di anjurkan untuk membentuk dusun oleh Pangeran Temenggung Kabul di bukit.
Penjeputan gelar adat tersebut di atas,
di prakarsai atau dilakukan oleh perkawakilan dari empat koto diwilayah Kumun.
Dimana setiap koto diwakili oleh dua orang perwakilan, yaitu:
1.
Abaeh Nyalo dari Koto Pinang yang didampingi
oleh Nyampe Siao.
2.
Tekhuk dari Koto Kemu yang didampingi
oleh Pati Balo Hitam Kinantan Lidah
3.
Panglimo Jati Ladang dari Koto Luar didampingi
oleh Kecaik Nyatao
4.
Kilat Tungga dari Koto Tuo didampingi oleh
Paningko Kecaik.
Hasil
dari pertemuan dengan Pangeran Temenggung tersebut, di putuskan Tenkhuk dari
Koto Kemu di kukuhkan gelar Depati
Sampurno Tiang Bumi Putih, Abeah Nyalo
dari Koto Pinang dikukuhkan gelar Depati
Galang Negeri, Kilat Tungga dari Koto Tuo dikukuhkan gelar Depati Puro negoro dan
Panglimo Jati dari Koto Luar dikukuhkan Depati nyoto Negoro.[11]
Pejeputan gelar dan keputusan wilayah
kekuasaan tersebut, oleh perwakilan dari empat koto ke pihak Kerajaan Jambi,
karena terjadi perjalanan singkat Pangeran Temenggung Kabul Dibukit ke Kerinci
untuk melihat sosial budaya dan agama masyarakat Kerinci yang terletak antara
Kerajaan Indrapura (Minangkabau) dan Kerajaan Jambi. Setiap negeri yang
dikunjungi dan dilaluinya, menyerahkan tanda mata selembar atau segabung kain
sutera, sekaligus mengukuhkn dan meresmikan gelar kedepatian kepada tuan rumah
seperti:
1.
Temiai gelar Depati Muara Langkap
2.
Pulau Sangkar Depati Rencong Telang
3.
Pengasi Depati Biang Sari
4.
Hiang Tinggi Depati Atur Bumi
Depati
Atur Bumi menyampaikan kepada Pangeran Temenggung, bahwa ada 8 (delapan) daerah
lagi yang perlu perhatian, maka kain yang satu lembar di bagi /di potong menjadi
delapan potongan, inilah yang disebut dengan tiga di hilir satu Tanah Rawang dan tiga dimudik satu Tanah Rawang,
jadi semuanya delapan yaitu:
1.
Depati serah bumi di seleman
2.
Depati atur bumi di hiang
3.
Depati mudo di penawar
4.
Depati mudo di hamparan rawang
5.
Depati Kepalo Sembah di Semurup
6.
Depati situwao di Kemantan
7.
Depati Tujuh di Sekungkung
8.
Depati niat di Hamparan Rawang.[12]
Sementara itu, sebelum Pangeran
Temenggung mengunjungi wilayah tersebut di atas, beliau terlebih dahulu
mengunjungi tiga wilayah di Kerinci rendah, yaitu wilayah Lubuk Barung digelari
Depati Setio Raja, wilayah Nalo
digelari Depati Setio Beti dan
Wilayah Tanah Renah digelari Depati Setio
Nyato. Inilah yang dengan Depati Tiga
Helai Kain di Kerinci Rendah atau bagian dari Depati Tujuh Helai Kain di Alam Kerinci, dari ketiga depati diatas
salah satunya pernah sebagai saksi penyerahan piagam dan slak oleh Pangeran
Temenggung kepada orang empat koto (Kumun), yaitu Depati Setio Rajo, seperti
yang telah disebut di atas tadi.
Menurut para tetua adat wilayah Depati
IV Kumun Debai, dengan adanya perjalanan atau kunjungan Pangeran Temenggung ke
wilayah Alam Kerinci dan memberi kain kebesaran dan pengukuhan gelar adat,
untuk setiap wilayah yang disinggahinya. Namun kunjungan tersebut berdampak
terhadap wilayah empat Koto Kumun, mereka merasa pemerintahannya terusik sehingga untuk dapat tegak sama tinggi duduk sama rendah dengan pemerintahan yang sudah
dikunjungi Pangeran Temenggung, mereka bermusyawarah dan pergi menjebut gelar
Kemuaro Mesumai.[13]
Itulah sebabanya, kenapa para tokoh atau tetua empat kota menjeput dan mendapat
gelar adat serta tanah wilayah yang sesuai dengan terlampir di dalam slak dan piagam, yaitu pada tahun Hijrah
Nabi Salallah Alaihi Wassalam pada Tahun Seribu Seratus Enam Tahun Alif, pada
selikur hari Bulan Sya’ban pada Hari Ahad.
Penulis bertolak belakang dengan
pendapat di atas, karena hal yang mustahil jika para tetua empat koto Kumun
merasa eksistensinya terganggu, dan menjeput gelar adat tersebut setelah
puluhan tahun lamanya wilayah lain mendapat pengukuhan, bahkan sudah mencapai
seratus tahun lebih kepemimpinan kedepatian di beberapa wilayah di Alam
Kerinci. Asumsi tersebut, penulis dasarkan kepada tahun yang tertera pada slak dan piagaam wilayah Depati IV Kumun, yaitu tahun 1106 atau 1694. Jadi
dapat di perkirakan sekitar tahun tersebut tokoh masyarakat empat koto menjeput
gelar adat atau pengakuan ke Muaro Mesumai. Sedangkan Pangeran Temenggung,
melakukan kunjungan ke wilayah Alam Kerinci serta mengukuhkan gelar adat untuk
wilayah yang disinggahinya sekitar tahun 1526 M semisal dengan 933 H.
Selain itu, ada juga yang berpendapat
yang menjadi penyebab tokoh masyarat wilayah empat koto, menjeput menghadap
Pangeran Temenggung untuk mendapat gelar dan pengakuan, karena pada masa dahulu
terjadilah peperangan antara wilayah Kumun dengan Sungai penuh, peperangan ini
terjadi karena wilayah Kumun menolok menjadi pegawai rajo dan pegawai jenang Sungai Penuh atas permintaan Sungai
Penuh, Kumun tidak mau tunduk ke wilayah Sungai Penuh karena Kumun ingin
berdiri sendiri. Setelah peperangan tersebut selesai konon katanya dimenangkan
oleh orang Kumun, sehingga tetua atau tokoh masyarakat Kumun kala itu,
beinisiatif untuk menjeput gelar adat ke hadapan Pangeran Temenggung Kabul
Dibukit yang berkedudukan di Muaro Mesumai. Hal ini dilakukan, agar wilayah
Kumun duduk samo rendah tegak samo tinggi
dengan wilayah kedepatian lain. Permintaan tokoh masyarakat tersebut dipenuhi
oleh Pangeran Temenggung sehingga wilayah Kumun berdiri sendiri dan mendapat
gelar kedepatian, yaitu depati IV Kumun.[14]
Menurut penulis, pendapat di atas
terdapat kejanggalan. Asumsi ini didasarkan atas jabatan yang dipegang Sungai
Penuh pada masa itu, yaitu sebagai pegawai raja dan pegawai jenang[15],
tidaklah mungkin pegawai akan memiliki pegawai lagi, dalam artian tidak mungkin
Kumun menjadi pegawai Sungai Penuh, karena sungai penuh bukanlah pusat
pemerintahan kedepatian di Alam Kerinci (Depati IV-VIII Helai Kain) kala itu,
malainkan Sungai Penuh hanya sebagai pegawai, yaitu suluh bendang dalam negeri
atau kiyai nan bertujuh di Alam Kerinci.
Sementara itu ada juga
yang berpendapat, pada masa dahulu wilayah IV Koto diserang dari segala penjuru
oleh para suluh bendang dalam negri
dan para pemuka masyarakat (depati) yang telah mengeraskan hukum syarak.
Peristiwa ini terjadi di Koto Tuo (Kumun), hal ini terjadi karena di wilayah
ini masih merejalela perjudian, minum tuak dan menyabung ayam serta Asyek. Oleh sebab itulah wilayah ini
diserang serta dihanguskan oleh suluh
bendang dalam negeri dan para depati di wilayah lain. Maka dengan adanya
penyerangan tersebut, tokoh (tetua)
masyarakat merasa kepemimpinanya terganggu. Setelah mereka menerima
kekalahan dan mau menjalankan perintah, dari suluh bendang dalam negeri, maka
mereka mengambil keputusan untuk menjeput gelar ke Muaro Mesumai. Pihak perwakilan
Sulthan Jambi mengabulkan permintaan mereka dan piagam gelar adat diserahkan
kepada tokoh masyarakat tersebut, beserta piagam tanah kekuasaan depati yang
berempat tersebut.
Penulis sependapat
dengan pendapat yang ketiga di atas, karena menurut orang tua-tua di wilayah
setempat pada masa dahulu, memang salah satu pusat Asyek di wilayah Kumun. Penulis semakin yakin dengan hal tersebut,
setelah pengakuan dari salah seorang depati di wilayah Kumun yang menyatakan
kebenaran hal tersebut. Kebenaran tersebut, tampaknya sengaja di sembunyikan
karena dapat merusak harkat dan martabat, serta akan mengakibatkan wilayah lain
berpandangan buruk terhadap wilayah Kumun itu sendiri.
Jadi dari pernyataan di atas, wilayah
ini baru menerima gelar dan wilayah adat setelah dilakukannya pembasmian
hal-hal yang tidak sesuai dengan hukum syarak oleh suluh bendang dalam negeri, dalam artian wilayah ini agak terlambat
dalam berkembangnya Islam. Oleh sebab itulah Pangeran Temenggung mengabulkan
permintaan tokoh masyarakat tersebut, agar tokoh masyarakat tersebut dapat
menguatkan Islam di wilayahnya. Mustahil jika seorang sultan atau pangeran
Kesultanan Islam akan memberi gelar serta wilayah kekuasaan kepada suatu
wilayah, apabila wilayah tersebut tidak mau menerima dan mengikuti ajaran dari
kesultanan itu sendiri, seperti halnya ajaran Islam sebagai agama resmi
Kesultanan/Kerajaan Jambi kala itu.
[14] Samsu AD, gelar Depati
Galang Cahayo Negri, wawancara pribadi, Kumun 13 Mei 2013, jam 9.30 WIB pagi.
Hal ini, juga pernah disampaikan oleh H. Taharuddin gelar Depati Sempurno
Cahayo Bumi Putih (mantan ketua Lembaga Kekerapatan Adat depati IV Kumun Debai
2006-2012) di kediaman beliau pada tahun 20011.
0 komentar:
Posting Komentar